Mega Jibao
Oleh: Dahlan Iskan
Ada yang bertanya ke saya, apa perbedaan dengan kereta cepat yang di Tiongkok. Saya jawab: tidak ada bedanya. Gerbong ini, misalnya, utuh buatan Qingdao, kota pantai di provinsi Shandong. Hanya selera warnanya yang tidak sama. KCIC memilih sentuhan nuansa merah.
Relnya pun bikinan Tiongkok. Utuh. Lebar rel juga sama dengan yang di Tiongkok: 1.425 cm. Di Eropa juga selebar itu. Hampir 39 cm lebih lebar dari rel kereta api Indonesia yang lambat itu: 1.067 cm.
Di dunia kini tinggal Indonesia, Afrika Selatan, dan sebagian Jepang yang lebar relnya 1.067.
Jepang pun, yang Sinkansen, juga menggunakan lebar rel 1.425. Semua rel kereta cepat memang harus lebar. Agar dalam kecepatan tinggi tidak mudah terguling.
Yang berbeda dengan di Tiongkok adalah cara pasangnya. Itu karena potongan rel yang didatangkan ke Indonesia berukuran 50 meter. Setiba di Indonesia, di depo KAI, rel itu disambung-sambung. Dilas. Menjadi panjang 500 meter. Lalu diangkut ke lokasi untuk dipasang. Tiap 500 meter dilas lagi dengan rel berikutnya.
Maka rel di jarak Jakarta-Bandung itu sama sekali tidak ada putusnya. Utuh. Sudah dilas jadi satu. Karena itu naik kereta cepat ini tidak terasa ada geronjalan sama sekali. Mulus. Lebih mulus dari paha ayam pop.
Tidak ada suara roda glek-glek seperti dalam ilustrasi lagu 'Kereta Malam-nya Frangky & Jane. Suara glek-glek itu datang dari roda yang melewati sambungan rel.
Maka tidak relevan lagi pertanyaan seperti yang saya dapatkan waktu sekolah di SD dulu: mengapa ada jarak di tempat sambungan rel. Saya masih ingat jawabnya hingga sekarang: agar ketika terkena panas matahari, rel tidak melengkung. Besi akan memuai bila terkena panas.