Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat

Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas seperti Front Umat Islam (FUI) dan kelompok-kelompok intoleran.   

BACA JUGA: Penyelesaian Kasus Meiliana Bisa Lewat Musyawarah Mufakat

Dalam konteks yang lebih makro, SETARA Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan. Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU Nomor 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime). 

Dalam waktu yang segera, menurut Hendardi, Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan un professional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasusi Meiliana. Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja.(fri/jpnn)


Menurut Hendardi, vonis 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara kepada Ibu Meiliana karena berpendapat tentang volume suara azan, merupakan bentuk peradilan sesat


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News