Melawan Kriminalisasi Berbau Politik di Pilkada 2024

Melawan Kriminalisasi Berbau Politik di Pilkada 2024
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dr. I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

Apalagi kini PDIP sebagai pemenang Pemilu 2024, seringkali diseberangkan dengan Pemerintah dan dibuat “lemah” dengan berbagai cara, termasuk kriminalisasi terhadap para kader atau calon pemimpin daerah yang notabene maju dalam kontestasi Pilkada.

Pilkada Jawa Tengah, misalnya, yang mempertemukan dua figur besar seperti Jenderal (Purn) Andika Perkasa dan Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi, seharusnya menjadi ajang adu gagasan yang sehat.

Namun, kekhawatiran bahwa ada intervensi politik yang memengaruhi jalannya kompetisi ini mencederai semangat demokrasi. Hal yang sama berlaku di Boyolali, di mana keterlibatan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan petahana menimbulkan persepsi bahwa proses demokrasi telah diarahkan untuk tujuan tertentu.

Meski demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kompleksitas yang dihadapi oleh pemerintah dalam sistem demokrasi multi-partai seperti di Indonesia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden sering kali dihadapkan pada dilema antara menjalankan program kerja dan mendapatkan dukungan politik dari parlemen.

Dalam sistem seperti ini, akumulasi kekuasaan memang sulit dihindari, tetapi harus selalu diimbangi dengan mekanisme check and balance yang efektif.

Dalam konteks tersebut, penting untuk memahami bahwa kritik terhadap pemerintah tidak selalu berarti “oposisi” terhadap sistem. Justru, kritik yang konstruktif adalah bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi itu sendiri.

Jika Pilkada 2024 benar-benar ingin menjadi instrumen untuk menyelamatkan demokrasi, maka semua pihak—termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat—harus berkomitmen untuk menjadikan proses ini transparan, kompetitif, dan bebas dari intervensi.

Lebih jauh, pemerintah juga perlu menunjukkan bahwa mereka mendukung demokrasi substantif, bukan hanya demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural hanya mengedepankan pelaksanaan formal dari mekanisme pemilu, sementara demokrasi substantif berfokus pada keadilan sosial, keterwakilan yang setara, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pilkada yang sehat adalah wujud dari demokrasi substantif yang sejati.

Wacana bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ancaman serius bukanlah hal baru.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News