Melayani Waria meski Penuh Cibiran
Para Pelayan Tuhan untuk Kaum Terpinggirkan

Bentuk pelayanan pun tak muluk-muluk. Bagi mereka, tak butuh uang banyak atau kekayaan untuk melayani sesama. ”Saya bahkan melayani dari gaji masih Rp 1 juta. Termasuk, ongkos makan dan bensin Surabaya Barat–Madura,” jelas mantan kuli bangunan itu. Tiap ada kesempatan, Yoyo dan timnya menyempatkan hadir pada pertemuan waria. Dia bisa larut dalam tiap obrolan, cerita, panggilan, istilah-istilah khusus, hingga keseharian mereka.
Ibaratnya kudu tune-in dulu. Bahkan, pria yang bergereja di Gereja Baptis Nazareth Pucang itu begitu luwes menirukan gaya mengibaskan rambut atau cara berjalan nan centil. Tiap kali bertemu, pria yang juga pembina komunitas punk Crossline tersebut tak segan mengajak para waria itu guyon. Misalnya, yang ditunjukkan saat memimpin pujian di Jalan Irian Barat Jumat malam lalu (19/12).
”Agak rapat duduknya. Ayo, posenya yang manis ya,” tuturnya dengan suara lembut nan menggoda kepada Natasya, Suzan, dan Melani, tiga waria cantik bertubuh molek, di Irian Barat itu.
Berpakaian mini, terbuka, plus polesan make-up apik, ketiganya memegang lilin sambil menyanyikan lagu Oh, Holy Night. Kondisi malam metropolis yang dingin, di pinggir kali, hingga lalu-lalang pria yang coba mampir tak dihiraukannya. Suara syahdu, khusyuk, dan teduh dalam lagu itu dilantunkan dengan kesungguhan. ”Ya gini ini kalau pas lagi persekutuan doa. Cuek aja,” ujarnya.
Sekitar tiga pujian mereka nyanyikan. Setelah itu, lelaki kelahiran 9 Juni 1974 tersebut dan dua rekan menumpangkan tangan dan memanjatkan doa ucapan syukur. Sementara pujian dilantunkan, tiba-tiba ada seorang pria yang menepi di seberang jalan.
Bukan untuk ikut berdoa, tapi mengajak salah seorang waria kencan. Maklum, sudah waktunya mereka bekerja. ”Heh, ngaliho, engkuk ae (pergi, nanti saja, Red),” ucap Tasya pedas kepada pelanggannya itu.
Memang terlihat ironi. Di sela-sela bersaat teduh (berdoa), mereka harus segera kembali bekerja. Berdiri di tepi jalan dengan berbalut baju tipis dan supermini menanti rupiah. Tapi, itu bagian dari proses. Yoyo mengakui, mereka hanya perlu dihargai.
Selebihnya adalah urusan mereka dengan Tuhan. ”Yang penting perilakunya berubah, bukan fisik,” tandas lelaki yang juga melayani kaum lesbian, gay, dan para pemulung itu. (Priska Birahy-Ira Kurniasari/c7/dos)
Orang-orang ini bisa saja melayani umat di gereja-gereja megah dengan lantai indah plus pendingin udara yang selalu berputar. Tapi, mereka malah
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Musala Al-Kautsar di Tepi Musi, Destinasi Wisata Religi Warisan Keturunan Wali
- Saat Hati Bhayangkara Sentuh Kalbu Yatim Piatu di Indragiri Hulu
- Kontroversi Rencana Penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer, Apresiasi Terhalang Stigma Kiri
- Kisah Jenderal Gondrong ke Iran demi Berantas Narkoba, Dijaga Ketat di Depan Kamar Hotel
- Petani Muda Al Fansuri Menuangkan Keresahan Melalui Buku Berjudul Agrikultur Progresif
- Setahun Badan Karantina Indonesia, Bayi yang Bertekad Meraksasa demi Menjaga Pertahanan Negara