Melihat Kehidupan Warga di Pulau Sebatik Saat Indonesia-Malaysia Tegang karena Ambalat
Masih Tergantung Tawau, Tidak Mungkin Perang
Jumat, 12 Juni 2009 – 06:23 WIB
Menurut dia, konflik Ambalat kali ini berbeda dengan konflik Ambalat empat tahun lalu. Dia menceritakan, pada 2005, konflik Indonesia dengan Malaysia memang membuat warga takut. Tidak heran, kala itu banyak warga yang menjual tanahnya dan mengungsi ke Tarakan atau Nunukan. "Waktu itu kami takut benar-benar terjadi perang. Kalau sekarang, mudah-mudahan saja tidak jadi. Ini yang dipercaya warga," katanya.
Meski demikian, memang pernah ada insiden. Senin lalu (8/6) warga Indonesia ditolak masuk ke Tawau. Namun, itu hanya berlangsung sekitar dua jam.
Setelah itu warga kembali diperbolehkan beraktivitas seperti biasa. "Saya terpaksa kembali membawa pulang penumpang ke Sebatik karena Polis Marine di Tawau melarang kami masuk. Tapi, tidak lama, dua jam kemudian sudah normal," terang Umar, salah seorang pemilik speedboat.
Meski demikian, konflik Ambalat tetap berpengaruh terhadap warga perbatasan, khususnya para pedagang yang sering bolak-balik Sebatik-Tawau. Umumnya, pedagang dari Sebatik membawa hasil perkebunan untuk dijual ke Tawau. Jika masuk ke Tawau, para pedagang itu dikenai biaya cap stempel Pas Lintas Batas (PLB) di Imigresen Malaysia sebesar RM 20 atau setara dengan Rp 60 ribu.
Memanasnya kembali hubungan Indonesia dengan Malaysia lantaran persoalan Ambalat tidak terlalu berpengaruh pada warga yang hidup di kawasan perbatasan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408