Melihat Kehidupan Warga di Pulau Sebatik Saat Indonesia-Malaysia Tegang karena Ambalat
Masih Tergantung Tawau, Tidak Mungkin Perang
Jumat, 12 Juni 2009 – 06:23 WIB
Namun, sejak konflik Ambalat mencuat, cap stempel naik tiba-tiba. "Setiap pedagang harus bayar biaya cap stempel Imigresen sebesar RM 20 setiap memasuki Tawau dan bayar lagi RM 10 ketika akan keluar dari Tawau," terang Umar, pedagang di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik. Padahal, kata dia, sebelumnya tidak pernah ada tarikan biaya saat keluar dari Tawau. Penarikan itu baru diberlakukan sejak awal bulan ini ketika memanasnya soal Ambalat.
"Sejak panasnya Ambalat itu, semuanya kok serbasulit," katanya.
Menurut dia, rata-rata jumlah warga Sebatik, termasuk pedagang tradisional, yang menyeberang ke Tawau melalui pintu dermaga di Desa Aji Kuning mencapai 100 orang per hari.
Jika warga Indonesia di Sebatik beraktivitas seperti biasa, demikian juga warga Wallace Bay Sebatik dan Tawau, Malaysia. Mereka menganggap, konflik Ambalat bukanlah hal serius dan perlu dibesar-besarkan. "Kami tak tahu soal itu," kata Hafis, seorang penjaga pos Polis Gerak Am (di Indonesia semacam Brimob).
Memanasnya kembali hubungan Indonesia dengan Malaysia lantaran persoalan Ambalat tidak terlalu berpengaruh pada warga yang hidup di kawasan perbatasan
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408