Meliput Kawasan Nikel di Indonesia, Mendengar Kisah Kehidupan Manusia

Suara Astia, perempuan Bajo dengan tiga anak yang tinggal di Kurisa, sekitar 2 kilometer dari IMIP, bergetar saat dia menceritakan sulitnya hidup sebagai orang Bajo ketika lautnya telah tercemar.
Putri, yang terjebak tawaran kerja dan berakhir menjadi wanita penghibur menangis terisak-isak saat ia mengulang isi doanya pada saya, meminta Tuhan menghalalkan uang yang didapatnya.
Fatiamah, penjual buah di depan pabrik dan asrama VDNI di Morosi mengusap air matanya ketika menceritakan bagaimana ia hanya bisa mengandalkan putri terkecilnya yang berusia 11 tahun untuk mencari uang dari berjualan buah.
Tentu banyak dari mereka yang juga sangat kuat, tegar, serta gigih mempertahankan kehidupan mereka di sarang nikel, dan dengan yakin mengartikulasikan apa yang mereka tuntut.
Tapi ada juga Jupri, petani padi di Pomalaa.
"Mbak tidak boleh tanya begitu. Saya juga tidak boleh berpikir begitu," jawab Jupri, ketika saya bertanya apakah dia terpikir untuk meminta operasi tambang yang membuat sawahnya kebanjiran "air merah" dihentikan.
Matanya menatap saya dalam-dalam, seakan tidak percaya mendengar pertanyaan saya.
"Kenapa enggak boleh, Pak?" tanya saya, juga keheranan.
Hampir semua narasumber menangis saat menuturkan cerita mereka. Cerita bagaimana tambang nikel dan smelter nikel membuat hidup mereka tidak lagi sama seperti yang dulu.
- Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik yang Reformis, Meninggal Dunia pada Usia 88 tahun
- Dunia Hari Ini: PM Australia Sebut Rencana Militer Rusia di Indonesia sebagai 'Propaganda'
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia