Melli

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Melli
Bendera Republik Islam Iran. Foto: arsip JPNN.com

Perang terakhir Iran untuk bisa menembus babak 16 besar akan ditentukan dalam pertandingan hidup mati melawan Amerika Serikat. Ini akan menjadi pertandingan yang sarat dengan gengsi politik.

Dua negara itu dikenal sebagai musuh bebuyutan dalam setengah abad terakhir. Di lapangan, pertandingan akan seru karena Amerika punya pemain-pemain hebat seperti Christian Pullisic.

Akan tetapi, Iran punya kolektivitas tim dan semangat juang yang lebih tinggi dari Amerika Serikat. Kalau bisa lebih berkonsentrasi ke lapangan dan suporternya bisa bersatu, tidak mustahil Iran akan mencatat sejarah emas dengan lolos ke babak perdelapam final.

Iran akan berperang all out melawan Amerika Serikaty (AS). Pada masa lalu Iran adalah negara satelit Amerika. Iran di era kekuasaan dinasti monarki Syah Reza Pahlavi merupakan negara boneka bagi Paman Sam.

Pada 1979, Revolusi Islam Iran yang dipimpin pemimpin Syiah Ayatullah Khomaini berhasil menjatuhkan kekuasaan Syah yang didukung penuh oleh AS. Syah terguling, kemudian melarikan diri bersama keluarganya ke Amerika Serikat.

Sejak itu, Iran menjadi musuh ideologis dan politis paling keras bagi Amerika. Sampai sekarang pun Amerika masih tetap menerapkan embargo perdagangan terhadap Iran.

Amerika berusaha keras mengisolasi Iran di pergaulan internasional. Namun, Iran tidak pernah menyerah dan tidak pernah tunduk kepada tekanan Amerika Serikat.

Semangat revolusi Iran benar-benar kokoh dan tidak pernah luntur. Pertandingan Iran vs Amerika di Piala Dunia ini akan menjadi ajang palagan mempertaruhkan gengsi politik dan peradaban.

Di dalam negeri, Iran tengah menghadapi gejolak politik karena demonstrasi luas menentang aturan berhijab bagi perempuan. Gejolak itu menjalar sampai Qatar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News