Memaknai Peperangan di Padang Kurusetra Dalam Epos Mahabarata

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsa, tinggal di Jakarta

Memaknai Peperangan di Padang Kurusetra Dalam Epos Mahabarata
Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsa, tinggal di Jakarta, Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Kelangsungan dari sebuah bangsa terletak pada pundak pundak anak bangsa itu sendiri untuk mempertahankan eksistensi dari bangsa tersebut di tengah percaturan situasi global dan kawasan yang tidak menentu yang suatu saat bisa meletus konflik yang menyeret bangsa ini dalam pusaran kepentingan negara-negara Adi Daya.

Sebab letaknya yang sangat strategis secara geografis digaris katulistiwa dan dikaruniai wilayah laut yang luas dengan tiga ALKI, sebagai jalur alternatif paling efektif dalam tranportasi laut antarbenua menuju samudera Hindia sebagai sebuah negara kepulauan.

Ada yang berpendapat dalam scenario Writing, dari ahli-ahli inteljen terkemuka bahwa kemungkinan Indonesia bisa bubar pada tahun 2030 seperti yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam sebuah pidato politiknya.

Hal itu tergantung dari pada kesiapan dan kemauan dari para anak bangsa beserta tokoh tokoh politik yang ada, untuk tetap berkomitment mempertahankan keberadaan dari Bangsa ini yang bernama Indonesia .

Kondisi yang sangat memprihatinkan dalam penegakan hukum di negeri ini , dimana telah ditangkapnya para mantan pejabat MA yang didapatkan uang cash hampir satu triliun merupakan indikasi dari ketidakberesan dari para pemangku hukum dalam menjalankan tugasnya.

Pemikiran dari para pendiri bangsa /Founding Father kita ini, baik Soekarno, Soepomo, Syahrir, Moh Hatta, Moh Yamin harus diakui tidak muncul secara taken for granted.

Sebab mereka di samping banyak belajar dari situasi negara-negara barat/Eropa dan Amerika saat itu, tetapi juga mempunyai rasa sensitivitas dan pemahaman yang sangat dalam tentang nilai-nilai yang mengakar dan tumbuh dari suku-suku bangsa ini (Local Wisdom).

Bahkan seorang guru besar sosiologi di Indonesia, yakni Prof Satjipto Rahardjo berpendapat dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswanya bahwa "sejatine ora Ono opo opo, seng Ono Kuwi Dudu" (sejatinya tidak ada apapun di dunia ini, yang ada sejatinya menipu).

Kisah Epos Perang Bharata Yuda antara Astina dan Kurawa menunjukkan Astina dengan Pandawa Limanya melakukan peperangan terakhir di Padang Kurusetra.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News