Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*

Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya
Presiden Joko Widodo dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sebuah pertemuan konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara pada 2015. Foto: dokumen JPNN.Com

Jika dugaan ini benar, bahwa pemerintah telah memperluas definisi anggaran infrastruktur, maka peningkatan belanja infrastruktur sebagaimana yang sering diklaim pemerintah sebenarnya tidak benar. Pertanyaannya, lalu ke mana larinya dana hasil pencabutan berbagai subsidi yang ditarik pemerintah dalam tiga tahun terakhir ini?

Klaim belanja infrastruktur yang meningkat memang tak sejalan dengan indikator pembangunan yang ada. Buktinya, peringkat infrastruktur Indonesia tiga tahun ini tak lebih baik dibanding empat tahun lalu.

Sebagai gambaran, pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), peringkat pembangunan infrastruktur kita indeksnya meningkat tajam dari 82 (2009) ke-56 (2014), dengan skor yang juga melonjak. Dari sebelumnya 3,2 menjadi 4,4. Di awal pemerintahan Jokowi, peringkat kita turun ke posisi 62 (2015).

Memang tahun ini kita kembali memperbaiki peringkat, dengan naik ke peringkat 60, tapi dengan kenaikan skor yang hanya 0,1. Ini tentu agak aneh jika dibandingkan dengan klaim besarnya lonjakan belanja infrastruktur yang sering digembar-gemborkan pemerintah.

Saya sering mengingatkan pemerintah seharusnya evaluasi kembali pembangunan infrastruktur. Kita semua sepakat pembangunan infrastruktur memang penting. Tapi pembangunan infrastruktur yang ditopang oleh utang dan tidak memperhatikan skala prioritas, sebenarnya sangat berbahaya.

Agenda pembangunan infrastruktur yang selama ini telah berjalan sebenarnya hanya berorientasi proyek, tidak berorientasi kepada masyarakat. Sebab, ekses belanja infrastruktur bagi pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat terbukti tak banyak.

Melalui sejumlah pernyataan, saya telah mengingatkan pemerintah bahwa dalam jangka pendek, persoalan ekonomi utama yang harusnya diselesaikan adalah soal daya beli masyarakat. Baru, dalam jangka panjang, pemerintah membenahi kemampuan produksi nasional.

Jadi, dengan kerangka tersebut, infrastruktur yang seharusnya dibangun adalah infrastruktur pertanian dan industri, dan bukannya jalan tol. Pembangunan sektor pertanian dan perdesaan mestinya jadi prioritas pemerintah.

Pemerintahan Jokowi yang mulanya mengusung jargon Revolusi Mental, ternyata fokus mengejar pembangunan infrastruktur. Kini, Revolusi Mental tak terdengar lagi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News