Membuka Cadar-Cadar Penutup Daerah Sensitif

Membuka Cadar-Cadar Penutup Daerah Sensitif
Wonderful Indonesia: Dicky Fabrian (kiri) konsulat Indonesia di Mumbai, dan Noviendi Makalam (paling kanan) dalam suasana table talk di JW Marriot Hotel, Mumbai. Foto: Don Kardono
Ada Adi Sucipto Jogjakarta, ada Adi Sumarmo Surakarta, ada Hasanuddin Makassar, Polonia Medan, Sam Ratulangi Manado, Juanda Surabaya, Minangkabau Padang dan Husein Sastranegara Bandung. ’’Bali itu bagian dari Indonesia. Dan Indonesia itu jauh lebih luas dan beragam. Bandung, Jakarta, Jogja, Surabaya, Medan dan kota-kota lain juga punya keunikan yang khas,’’ jelas Jambon –si peranakan Jambi Ambon—yang lagi-lagi salah satu hall di JW Marriot itu senyap. Noviendi yang tampil bersama Dicky Fabrian, Konsul Indonesia di Mumbai itu menyebut, persepsi orang India terhadap pariwisata Indonesia masih Bali. Di manamana orang bertutur soal Bali. ’’Saya bisa mengerti, pelaku bisnis pariwisata Bali memang lebih agresif melakukan campaigned dan promo ke India.

:TERKAIT Mereka sudah actions dengan memperkenalkan aneka paket. Wajar kalau Bali tetap menjadi lokomotif pariwisata. Saya mendorong daerah lain untuk memiliki kreasi dengan paket-paket yang menarik,” kata dia. Dicky menambahkan, dia berharap Garuda Indonesia tidak mundur dalam rencana membuka jalur langsung Mumbai- Bombai ke Indonesia di pertengahan 2011 ini. ’’Kalau itu dilakukan, aksesnya akan lebih mudah, dan membuka hubungan diplomatik yang lebih kuat. Apalagi, India adalah salah negara yang bisa visa on arrival,’’ kata Dicky.

Noviendi lagi-lagi menceritakan, contoh paket kreatif membidik diferensiasi Indonesia dalam peta turisme dunia itu bisa dilakukan. Pasar Malaysia yang merupakan pasar terbesar itu dilempar paket kulineri dengan sasaran ibu-ibu yang hobi memasak. Program itu selain datang ke Jakarta, tinggal di hotel yang nyaman, mereka diberi materi cooking class, memasak kari ala Indonesia, rendang, sop buntut, dll. Mereka diajak belanja di pasar pagi-pagi, memilih menu, lalu memasak dan dilombakan. Yang modalnya paling sedikit, dan rasanya paling yahut, mendapat hadiah. ’’Ide seperti ini menunjukkan bahwa membidik pasar itu tidak harus reguler. Tidak harus linier. Tetapi hal-hal unik, detail, kreatif, juga bisa menciptakan segmen tertentu. Inilah bentuk entrepreneurship dalam industri wisata,’’ kata Noviendi. Dia membayangkan, seperti sedang membuka cadar orang-orang India, bahwa Indonesia itu begitu luas dan ragam.

Suku, budaya, bahasa, tradisi, agama, semuanya independen. Semuanya memiliki kekhasan. ’’Kami sedang melakukan konsolidasi internal, untuk melakukan mapping. Negara mana untuk daerah mana? Agar saat berpromosi itu on target, tidak saltum alias salah kostum. Misalnya, pasar India, hasil observasi kami menyebutkan, mereka turis yang ‘malas’ untuk jalan ke objek-objek tertentu. Mereka lebih suka leyeh-leyeh santai di hotel, belanja, lalu malamnya menikmati hiburan,’’ jelas penggemar batik ini. Kalau objek bidikannya India, sebenarnya Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan juga cocok, selain Bali. ’’Sampai saat ini, peringkat pertama kedatangan mereka masih ke Bali, baru kedua Jakarta. Yang ke Jakarta pun lebih banyak karena urusan bisnis. Tetapi, mau bisnis atau wisata, sama saja, mereka sudah datang ke dan membelanjakan uangnya ke Indonesia. Saya jelaskan kepada mereka, semua destinasi Indonesia itu valuable. Saya jamin itu,’’ meyakinkan. Bagi dia, jumlah kunjungan itu penting, karena itulah target yang dicanangkan pemerintah. Tetapi, lama kunjungan dan angka belanja per wisatawan itu juga lebih penting untuk melengkapi jumlah kunjungan.

Sekitar 100 pelaku bisnis pariwisata India diam terpaku sekitar 30 menit. Saat presentasi tentang bagian-bagian paling sensitif dan lekuk-lekuk yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News