Membungkam Tweeps

Membungkam Tweeps
Membungkam Tweeps

jpnn.com - TAPAL batas paling terlihat tegas dari kebebasan adalah hukum. Batas lebih halus namanya etika. Dua garis pembatas itulah yang bisa melokalisasi ’’kebebasan’’ agar tidak bertabrakan dengan ’’kebebasan’’ milik orang lain. Sebab, setiap negara memiliki sejarah kebebasan yang berbeda, sehingga punya standar etika dan hukum yang beragam pula. Karena itu, ketika twitter mengumumkan fasilitas terbaru yang bisa menyensor tweeps di negara-negara tertentu, maka gelombang protes pun mengalir begitu deras.

’’Penonton kecewa!’’ begitu rata-rata statusnya. Tweeps identik dengan kebebasan mengoceh, bebas berkicau, tentang apa saja, dari belahan bumi yang mana saja. Karena itu, simbol twitter adalah burung kecil berwarna biru yang sedang membuka mulut. Saat 2009 lalu, media sosial itu diblokir di China, jamaah twitteriyah, facebookiyah dan youtubeyah berteriak kencang! Tetapi Pemerintah Tiongkok tutup mata, tutup telinga.

Ada alasan sangat kuat bahwa kasak-kusuk dari republik dunia maya itu menjadi kompor dalam berbagai kerusuhan di Provinsi Xin Jiang, Tiongkok Barat. Kawasan yang banyak dihuni etnis minoritas Uighur. Foto-foto bentrok tentara v warga muslim itu dengan mudah tersiar dunia internasional, karena ada yang meng-up load. Tahun 2010 saya sempat ke Shenyang dan Dangdong, Tiongkok Utara, ikatan blokir itu belum juga dilepas.

:TERKAIT Tahun 2011 saya ke Nanjing dan Guangzhou, tetap saja belum kendor. Awal tahun 2012 saya ke Macao dan Shenzhen, masih belum “bebas akses”, sehingga di Venetian Hotel pun tidak bisa mengakses tiga media itu. Tetapi, dengan Blackberry, saya masih bisa mensiasati dan menembus login dan up load status. Di Mesir, dan beberapa negara di Jazirah Arab, mungkin agak terlambat dan meremehkan daya tekan media sosial ini.

Presiden Husni Mubarak yang sudah tiga dekade, sejak 1981 itu dipaksa mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 lalu, dalam usia 83 tahun. Rakyat Mesir unjuk rasa habis-habisan, yang dimobilisasi melalui facebook, twitter dan youtube. Negara di Timur Tengah dan Afrika Utara mendidih dengan kicauan Twitter dan Facebook. Presiden Tunisia, penguasa 23 tahun, Zine El Abidine Ben Alim, juga ambruk diterjang badai media sosial.

Gerakan pro demokrasi menjalar begitu cepat. Warga bergerak, turun ke jalan, mirip Indonesia medio 1998. Mereka menyuarakan perbaikan ekonomi, kebebasan berpendapat dan kesamaan. Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir menyebutnya Revolusi 2.0. Dua belas negara mulai mengantisipasi gempa twit twit itu. Tiga media sosial itu dianggap sebagai hantu yang mengerikan. Virus yang lebih mematikan dari H5N1 dan HIV AIDS.

Mereka pun mulai memprotes ke pemilik jaringan yang membuat jauh serasa dekat itu. Satu kelompok asal Israel bernama Shurat HaDin (Pusat Hukum Israel, non pemrintah) mengancam akan menggugat Twitter, jika tidak segera menutup paksa akun yang diposting kelompok Hizbullah. Twitter dicap sebagai teroris di Israel, karena dianggap melindungi Hizbullah yang bisa menari-nari dengan nge-twitt ke seluruh dunia.

Twitter dianggap perpanjangan mulut organisasi ilegal itu. Mungkin kalau sudah lahir di zaman Orde Baru dulu, juga dicap OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), atau sebangsa PKI. Pekan lalu, 26 Januari 2012, protes itu sudah ditemukan formulasinya, untuk memblokir twitt tertentu yang dianggap melanggar rambu-rambu hukum negara tertentu. Dari San Francisco AS diumumkan, Twitter sudah mampu menahan konten dari dan untuk pengguna di suatu negara, namun tetap tidak bisa mengabaikan ketersediaannya bagi pengguna di negara lain.

TAPAL batas paling terlihat tegas dari kebebasan adalah hukum. Batas lebih halus namanya etika. Dua garis pembatas itulah yang bisa melokalisasi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News