Mempersuasi Atapers
Nyawa seperti tak berharga, hanya sebanding dengan selembar tiket KRL. Risiko apapun, sepertinya sudah bukan penghalang. Bahkan, hanya membuat mereka marah. Bentuk kemarahannya juga ditumpahkan melalui cara-cara yang atraktif. Misalnya, mereka melempar petugas dengan olie bekas yang dimasukkan ke dalam plastik. Mereka meludahi petugas dari atas.
Bahkan, di stasiun Pasar Minggu dan Kalibata pernah dirusak. Kaca-kaca stasiun yang tidak ikut berkonflik turut dipecah. Kini PT KAI membuat model persuasi yang lain. Membuat film akan bahaya penumpang di atas atap! Persoalannya, akankah jurus ini efektif? Belum ada yang menjamin, tetapi kalau melihat historis yang sudah kenyang dengan aneka model itu, rasanya cara ini hanya akan dijadikan bahan tawaan atapers. PT KAI juga menggelar marawis di stasiun dan menyediakan penceramah.
Tujuannya supaya mereka sadar bahwa duduk di atap gerbong sama dengan menceburkan diri ke jurang kebinasahan. Apa itu juga efektif? Sebenarnya, alasan mereka menjadi atapers itu apa? Tiket kemahalan, sehingga tidak sanggup membeli? Atau kapasitas gerbong yang tidak cukup? Kelebihan penumpang? Bagi komunitas KRL, jawabannya jelas.
Gerbong kereta itu terlalu sempit untuk jumlah penumpang yang begitu banyak! Kalau sudah begitu, serepot apapun, sesusah apapun, mereka tidak peduli, yang penting sampai ke tempat tujuan. Idealnya, jumlah gerbong ditambah? Jumlah KRL juga dibuat lebih banyak? Lalu double track agar lebih cepat dan aman? Ancaman ada di infrastruktur persimpangan jalan kereta dengan jalur mobil-motor biasa. Terlalu panjang, dan terlalu banyak KRL, akan semakin lama palang kereta menghambat lalulintas.
Dampaknya jalur mobil-motor makin padat. Kecuali jalur kereta itu bisa dibuat menerobos bawah tanah (underpass) atau melintas di atas jalan (flyover)? Ah, tetapi itu semua bukan solusi jangka pendek. Itu butuh biaya besar, perlu budget, dan waktu lama, sementara problem overload itu sudah terjadi sekarang? Tidak mungkin penyelesaian jangka pendek dengan resep obat-obatan jangka panjang? Nanti bisa salah obat! Yang paling murah dan memungkinkan adalah, mengatur jam operasionalnya! Kalau selama ini mulai jam 05.00 sampai pukul 22.00 WIB, mungkin harus diatur waktunya, dari pukul 04.00 sampai 00.00 WIB? Pada jam-jam tidak sibuk, skedul kereta-nya dikurangi.
Sebab, peak season penumpang itu terjadi pada jam 06.00 sampai 08.00 WIB? Itulah fokus sosialisasi yang harus disampaikan ke pengguna jasa KRL. Setelah itu, penumpang di atap betul-betul dilarang! Kompensasinya, mereka dipersuasi untuk berangkat lebih pagi, dan pulang lebih malam. Karena KRL beroperasi lebih pagi dan lebih malam. Stasiun juga diberi tempat duduk yang layak agar mereka sabar menunggu. Daripada harus bersitegang dengan atapers yang berlapis nyali itu?(*)
(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi INDOPOS dan Wadir Jawa Pos.
YUK kita coba naik KRL di atas atap! Biar bisa masuk komunitas atapers –penumpang yang duduk dan tiduran di atap gerbong KRL. Biar menjiwai
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Batal Didatangi Massa Buruh, Balai Kota DKI Lengang
- Jangan Menunggu Bulan Purnama Menyapa Gulita Malam
- Dua Kali Getarkan Gedung, Bilateral Meeting Jalan Terus
- Agar Abadi, Tetaplah Menjadi Bintang di Langit
- Boris Yeltsin Disimbolkan Bendera, Kruschev Seni Kubisme
- Eskalator Terdalam 80 Meter, Mengusap Mulut Patung Anjing