Mencermati RUU KUHAP dan Urgensi Kebutuhan Modernisasi Hukum Acara Pidana

Oleh: DR. I Wayan Sudirta, SH, MH - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Mencermati RUU KUHAP dan Urgensi Kebutuhan Modernisasi Hukum Acara Pidana
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan DR. I Wayan Sudirta, SH, MH. Foto: Dokumentasi pribadi

Hakim, Penuntut Umum, dan Advokat pada prinsipnya harus membuka seterang-terangnya duduk perkara serta bersifat adil dan obyektif, walaupun advokat tentu dapat berpendapat lain.

Pidana merupakan ranah hukum publik sehingga pada dasarnya persidangan harus dilakukan secara terbuka. Pengecualian terhadap hal-hal yang bersifat privasi (seperti pada tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana anak, dan tindak pidana tertentu lainnya yang menyangkut rahasia) harus dapat dimungkinkan untuk dimintakan secara tertutup.

Hal terakhir yang mungkin dapat melengkapi catatan ini adalah catatan saya mengenai upaya untuk mengurangi beban perkara dan penerapan asas yang cepat, mudah, dan sederhana melalui penerapan plea bargaining.

Sistem plea bargaining atau semacam negosiasi pembelaan memungkinkan terdakwa dan penuntut umum melakukan sebuah “proses tawar menawar” untuk mencapai kesepakatan penyelesaian perkara pidana dimana terdakwa mengakui kesalahannya.

Sistem plea bargaining ini banyak dilakukan di negara-negara lain, terutama di negara maju untuk mempercepat proses dan mengurangi penghukuman karena dianggap kooperatif.

Banyak masukan untuk sistem hukum di Indonesia mengadopsi metode ini. Melihat dari pengalaman yang saya lihat dan alami selama praktek sistem peradilan pidana, saya melihat bahwa metode ini dimungkinkan untuk diterapkan dan sangat efektif untuk mengurangi beban perkara di peradilan di Indonesia yang sudah sangat banyak dan cenderung menjalani proses yang “bertele-tele”.

Metode ini jika diatur secara lebih komprehensif akan sangat menguntungkan. Hal ini mengingat juga bahwa konsep ini bukan sebuah hal yang sama sekali baru di dunia dan hukum nasional.

Indonesia telah mengatur mengenai Perlindungan Saksi dan Korban serta KUHP baru yang mengenal hal-hal yang meringankan, yakni terdakwa mengakui dan menyadari kesalahannya. Hakim harus mempertimbangkan hal ini.

Pada Jumat 21 Maret 2025 lalu, naskah RUU KUHAP akhirnya dirilis secara resmi oleh Pimpinan Komisi III DPR, setelah banyak simpang siur mengenai draf RUU KUHAP.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News