Mendulang Berkah Macet Jakarta, Tiap Bulan Kirimi Istri Rp 2 Juta
”Rute itu juga biasa digunakan untuk mengantar turis-turis asing berkeliling wisata Kota Tua,” terangnya juga.
Tahun 1980, awal kakek bercucu dua itu menggenjot engkol onthel. Jalanan Jakarta tidak seramai sekarang. Belum banyak mobil pribadi, masih cukup lowong baginya bersanding dengan becak, bajaj, bemo, maupun bus. Jarak antar penumpang juga bisa lebih jauh lagi, ke gang-gang kecil di kawasan Harmoni.
Sebab itu ia bisa beberapa kali berganti pangkalan. Mulai di Glodok, Pinangsia, Pasar Perniagaan, Jalan Asemka dan di sepanjang jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk.
”Ngantar penumpang paling jauh itu sekali-kalinya, ke pelabuhan Muara Angke, tahun ‘82 dibayar cuma cuma gopek (Rp 500), capeknya minta ampun, pulangnya sampai kesasar,” cetusnya juga. (*)
KEMACETAN di Jakarta tak melulu membuat stres warga. Terlebih, mereka yang berada di kalangan bawah. Hiruk pikuk keramaian kota yang dulu disebut
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara