Menelisik Indonesia

Oleh Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M, Wakil Ketua MPR RI

Menelisik Indonesia
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Foto: Humas MPR RI

Prinsip moral tidak bertaring atas kejahatan dan kebaikan jadi kabur. Martabat kaum perempuan dilecehkan.

Mengapa RUU TPKS harus secepatnya disahkan menjadi sebuah produk undang-undang? Ini adalah desakan moralitas dan infrastruktur untuk perlindungan menyeluruh.

Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah penyerangan terhadap martabat kemanusiaan. Maka kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang dikutuk oleh prinsip moral agama, kepercayaan, dan ideologi manapun. Ini alasan mendasar di balik Deklarasi Universal HAM pada 1948, Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 dan batang tubuh, dam UU Nomor 39 Tahun 1999.

Di dalam kondisi subordinasi, represi, dan dominasi sistematis seperti ini, kebisuaan, depresi, dan atau air mata korban adalah bukti paling kuat. Membisu adalah berkata-kata tanpa kata. Air mata adalah protes tanpa pemaksaan. Wajah depresi adalah kejujuran paling telanjang.

Sayangnya, pimpinan DPR RI belum sampai pada tahap kontemplasi atas realitas. Mengesahkan RUU TPKS adalah tindakan memihak korban, mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Fraksi-fraksi partai di DPR RI boleh berbeda kepentingan politik pragmatis, tetapi harus bertumpu di atas prinsip moral yang sama untuk mengesahkan RUU TPKS.

Tertundanya pengesahan RUU TPKS adalah lubang kekurangan yang dibiarkan mengaga, menodai kinerja parlemen sejak digagasnya RUU ini.

Kenyataan ini menuntut kita segera dan harus merealisasikan undang-undang perlindungan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kita sudah melewati tahun 2021. Panta rhei kai uden menei, semua mengalir tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News