Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
Oleh Dahlan Iskan
Pertama, telah beredar luas opini bahwa Pertamina tidak akan mampu. Karena itu, sebaiknya kontrak diperpanjang.
Kedua, saya khawatir direksi Pertamina tidak cukup kuat. Khususnya kalau ada tekanan begini: Keluarkan putusan bahwa Pertamina tidak sanggup! Bukan tidak sanggup. Tapi disuruh tidak sanggup.
Gejala munculnya tekanan seperti itu belum ada. Atau lebih tepatnya: saya tidak tahu. Saya hanya khawatir. Karena itu, lebih baik didahului. Dipagari. Saya minta direksi Pertamina membahas soal kemampuan itu. Secara profesional. Jangan tidak mampu mengaku mampu. Atau mampu mengaku tidak mampu.
Tiga bulan kemudian, Pertamina lapor: mampu. Sangat mampu. Saya minta kesanggupan itu dinyatakan dalam dokumen yang kuat. Lalu dikirimkan ke semua pihak.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi yang memutarbalikkan opini. Pun Pertamina, siapa pun direksinya, terikat dengan putusan itu. Memang bisa saja diubah. Oleh direksi berikutnya, misalnya. Tapi, setidaknya memerlukan proses.
Peran saya sebatas itu. Tak lama kemudian, masa jabatan saya berakhir.
Soal FI lain lagi. Saya tidak banyak tahu. Kondisi FI juga sudah memburuk. Dividen sudah seret. Ditagih sulit. Atau tidak bisa. Lebih tepatnya memang tidak ada dividen. Berarti tidak ada lagi setoran untuk negara.
Lantas, apa sumbangan FI pada keuangan negara? Dari dividen tidak ada lagi. Maka, saya memperjuangkan ide ini: Saham 9 persen itu disatukan saja dengan saham-saham minoritas milik negara di tempat lain.