Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Oleh Dahlan Iskan

Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Kita betul-betul ingin mendengar dari si pemilik ide dua tahun itu. Perlu buka-bukaan. Secara jenih. Akademis. Kepala dingin. Semata untuk mencari solusi.

Penentuan waktu dua tahun itu benar-benar menyulitkan semua pihak: pemerintah, yang merasa punya kepentingan, dan Freeport. Menyulitkan bagi pihak yang ingin memperpanjang. Bahkan sekaligus menyulitkan pihak yang tidak ingin memperpanjang.

Untuk skala seraksasa FI, dua tahun itu tidak cukup. Sangat. Sangat mepet. Akibatnya, semua pihak tersandera.

Jangan-jangan, dulu, penentuan dua tahun itu tidak mempertimbangkan besarnya skala usaha FI. Perlu ada kesaksian dari penyusun draf peraturan tersebut. Agar yang ingin mengubahnya tidak dituduh menyimpan udang di balik tembaga.

Kondisi FI sangat berbeda dengan Asahan. Di Asahan, jelas ada kesepakatan bagaimana kalau suatu saat kontrak berakhir.

Pihak Jepang wajib menyerahkan kembali Asahan dalam kondisi terbaiknya. Kita tidak khawatir akan menerima barang rongsokan.

Saya memuji habis perusahaan Jepang tersebut. Dalam acara perpisahan dengan mereka, pujian itu saya ulangi beberapa kali. Jepang menyerahkan kembali Asahan tidak hanya dalam kondisi baik. Tapi seperti baru: baik PLTA-nya maupun industri aluminiumnya. Bahkan investor tersebut meninggalkan uang cash yang sangat besar.

Apakah Jepang waktu itu tidak menuntut perpanjangan?

BOLEHKAH kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan? Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News