Mengatasi Punggung Sumatera yang Mahal
Kamis, 06 Oktober 2011 – 06:39 WIB
Kualitas listrik yang jelek itu pun diproduksi dengan cara yang amat mahal. Menggunakan diesel. Sudah biayanya mencapai Rp 2.500/kwh, masih sering mati-mati pula. Padahal, harga jualnya ke masyarakat hanya Rp 650/kwh.
Perjalanan tersebut harus menemukan jalan keluarnya. Sepanjang jalan, kami, saya dan beberapa pimpinan PLN setempat, terus mendiskusikannya. Kota kecil seperti Muko-Muko dan Ipoh benar-benar sulit dipecahkan. Sangat jauh. Untuk membangun transmisi ke sana, diperlukan biaya Rp 2 triliun. Padahal, penduduknya hanya sedikit.
Mahalnya itu disebabkan Muko-Muko dan Ipoh terletak di pertengahan antara gardu induk Padang dan gardu induk Bengkulu. Transmisinya harus ditarik dari Padang, yang berjarak hampir 500 km. Sama dengan menarik transmisi dari Jakarta ke Semarang. Padahal, ada gardu induk lain yang jaraknya hanya 70 km. Namun, gardu induk itu berada di balik hutan lindung yang tidak bisa dilewati transmisi. Bagaimana dengan kota-kota lain?
Untunglah, proyek geotermal (panas bumi) Ulubelu di Kabupaten Tanggamus berjalan lancar. Proyek yang kontraknya saya tanda tangani 1,5 tahun lalu dengan Sumitomo itu hampir selesai. Bulan April nanti sudah akan memproduksi listrik 110 mw. Ketika meninjau proyek tersebut, kemudian menelusuri kota-kota kecil di wilayah itu, terpikir ide baru.