Mengejar Bayangan yang Melelahkan
Minggu, 26 September 2010 – 00:44 WIB
SAYA senang bisa kembali melakukan perjalanan panjang seperti ketika muda dulu. Bedanya, dulu untuk menguber berita, kini untuk melihat sendiri proyek-proyek dan kiprah aparat pln di berbagai daerah. Kali ini, sehari setelah lebaran lalu, saya ke Tanggari, Tonsa Lama, PLTS Bunaken, Lahendong, Amurang (semuanya di Sulut), lalu ke Gorontalo dan terus jalan darat lagi semalam suntuk ke Paleleh dan Buol. Disambung lagi ke Palu dan Mamuju. Terus jalan darat lagi ke Poliwali dan Barru. Perjalanan ini baru berakhir di Makasar setelah tiga hari tiga malam hampir tanpa henti. Saya sangat terkesan oleh PLTA Tanggari ini. Bukan karena besarnya melainkan sejarahnya. Sejarah masa lalu maupun masa kini. PLTA paling atas di Tanggari ini dibangun sebelum Indonesia merdeka. Sampai sekarang masih bisa berfungsi. Turbinnya General Electric dan bangunannya dari kayu. Masih kokoh. Di sana-sini masih tersisa lubang peluru pertanda PLTA ini pernah jadi medan pertempuran. Banyak gua-gua persembunyian Jepang di pegunungan dekat Air Madidi (Manado) ini.
Sambil menikmati goncangan mobil ternyata banyak gagasan bisa lahir. Ide-ide itu bisa didiskusikan sepanjang jalan. Apalagi dalam perjalanan ini ikut pula para pimpinan PLN setempat termasuk general manajer wilayah Sulteng-Sulut Wirabumi, general manajer wilayah Sulsel dan Sutra Ahmad Siang dan para kepala cabang PLN setempat. Jalan darat dari Gorontalo ke Buol sangat menyiksa (harus beberapa kali berhenti karena mobil masuk kubangan atau tidak kuat menanjak) di situlah seninya sebuah tantangan.
Baca Juga:
Di perjalanan inilah ide untuk mengubah fungsi beberapa PLTA di Sulut lahir. PLTA Tonsa, Tanggari I, Tanggari II dan Tanggari III (Sawangan) sebaiknya hanya akan dijadikan penyangga untuk beban puncak (picker) atau semi picker. Tidak perlu lagi dijalankan selama 24 jam seperti selama ini. Air dari danau Tondano yang indah itu bisa dihemat. Dengan demikian problem tahunan yang muncul setiap musim kemarau akan bisa diatasi. Setiap musim kemarau terjadi krisis listrik di Sulut karena jumlah air tidak cukup besar untuk menggerakkan turbin-turbin di sepanjang aliran sungai itu.
Baca Juga: