Mengenal Trio Paramita, Tiga Bersaudara Gemologist Indonesia

Kantongi Rekor Tentukan Keaslian Berlian 40 Karat

Mengenal Trio Paramita, Tiga Bersaudara Gemologist Indonesia
Tiga gemologist Indonesia di laboratorium. Dari kiri, Leticia Paramita, Sumarni Paramita, dan Delfina Paramita. Foto: Muhamad Ali/Jawa Pos

Identifikasi batu sintetis bisa dilakukan dengan alat sederhana seperti lup atau kaca pembesar dan lampu sorot. Namun, untuk batu sintetis yang diolah di laboratorium atau batu ”aspal”, identifikasi dengan alat-alat standar tidak akan cukup. Itulah yang membuat batu-batu palsu kian beredar, bahkan di kalangan pedagang atau kolektor.

Karena itu, dibutuhkan alat-alat diagnosis yang lebih canggih. Contohnya, monochromatic light, fiber optic light, dichroscope, specific gravity balance, cairan specific grafity, hingga alat canggih terbaru semacam UV-VIS-NIR spectrophotometer dan fourier transform infrared spectrophotometer (FTIR) yang harganya miliaran rupiah.

Dengan alat-alat canggih itulah, proses identifikasi batu bisa mencapai tingkat keakuratan sangat tinggi. Sumarni menyebutkan, sehebat-hebatnya batu sintetis atau batu permata asli tapi palsu yang dipoles di laboratorium, tetap akan ada cacat yang bisa dilihat. ”Sebab, yang asli terbentuk ribuan tahun di alam, sedangkan yang palsu hanya dibentuk beberapa hari di laboratorium,” katanya.

Meski secara tren diketahui ada 40–50 persen batu permata palsu yang ditemukan melalui identifikasi di laboratorium, persentase itu bisa melonjak. Misalnya, saat Jawa Pos diajak masuk ke laboratoium Adamas, ada enam batu permata yang baru saja selesai diidentifikasi. Hasilnya, lima batu dinyatakan palsu atau sintetis, sedangkan satu batu dinyatakan asli tapi sudah mengalami proses pemolesan alias ”aspal”.

Untuk batu-batu yang diketahui palsu, gemologist akan mengeluarkan memo atau catatan hasil cek laboratorium. Namun, jika hasilnya dinyatakan asli, pemilik batu bisa meminta memo atau sertifikat keaslian.

Biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk memeriksakan batu permatanya beragam, mulai Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah, bergantung jenis, berat, serta tingkat kerumitan. Sumarni mengungkapkan, dengan alat-alat canggih yang dimiliki laboratorium milik keluarganya, proses identifikasi batu hanya memakan waktu sekitar 30 menit. ”Tapi, kalau agak rumit, bisa sampai tiga jam,” ujarnya.

Sumarni mengatakan, sepanjang 25 tahun karirnya sebagai gemologist, rekor batu permata yang pernah ditelitinya adalah berlian 40 karat milik kolektor dari Jakarta. Meski dia tidak menanyakan harga kepada si pemilik, nilai berlian dengan spesifikasi tersebut bisa lebih dari Rp 2 miliar.

Sebagai gemologist, Sumarni memang tidak pernah bertanya kepada klien tentang harga batu permata milik mereka ataupun asal usulnya. ’’Tapi, kadang ada juga klien yang cerita-cerita sendiri,” ujarnya.

Gemologist termasuk profesi langka. Di Indonesia, jumlah ilmuwan batu mulia bersertifikat itu bisa dihitung dengan jari. Di antara yang sedikit tersebut,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News