Menggugat Diskriminatif, Lewat Sekolah Inklusif

Menggugat Diskriminatif, Lewat Sekolah Inklusif
Menggugat Diskriminatif, Lewat Sekolah Inklusif
Sejak matanya mengalami gangguan penglihatan, Ismail sempat putus asa. Cita-citanya menjadi pilot pesawat atau tentara hanya bisa dikubur dalam hati. Namun nasib masih berpihak kepadanya. Dalam kondisi mata yang mulai rabun, Ismail  bisa menamatkan Sekolah Dasar. Ketika teman-temannya melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama, Ismail mulai merasakan adanya perbedaan. Nyaris, tidak banyak sekolah reguler yang mau menerimanya sebagai siswa baru.

Guru-guru pada sejumlah sekolah reguler di Kabupaten Agam dan Kota Bukitttingi yang merupakan daerah hinterland Kota Payakumbuh, menyarankan kepada orangtuanya, agar Ismail melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa. Namun kedua orang tua Ismail masih yakin, mata anak mereka dapat disembuhkan.  Setelah meyakinkan pihak sekolah, Ismail akhirnya dapat diterima sebagai siswa baru SMP Negeri 1 Kecamatan IV Angkek.

Malangnya, belum sampai satu caturwulan menimba ilmu di SMP tersebut, Ismail menemui banyak kendala.  "Di sekolah itu, tidak ada guru pembimbing untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti saya. Kalau belajar, saya tidak bisa melihat pelajaran yang diterangka guru di papan tulis. Setelah mencari-cari informasi ke sana-sini, akhirnya orang tua saya, mengirim saya ke SLB Center Payakumbuh. Oleh pimpinan SLB Center, Ibu Dewi Marza, saya direkomendasikan untuk bersekolah di SMPN 4 Payakumbuh yang merupakan sekolah inklusif, " ujar Ismail.

Tiga tahun menimba ilmu di SMPN 4 Payakumbuh yang berada di kawasan Pakansinayan, Ismail lulus dengan nilai bagus. Dia pernah mewakili Provinsi Sumatera Barat dalam Olimpiade Sains Nasional untuk anak-anak berkebutuhan khusus.  Setamat dari SMP 4, Ismail meneruskan pendidikan di SMAN 2 Payakumbuh yang sejak 6 tahun terakhir menerapkan pendidikan inklusif. Kini, Ismail baru duduk di bangku kelas X IPS. Selama belajar di  sekolah berjuluk Kampus Flamboyan itu, Ismail senang karena diterima dengan baik oleh siswa-siswi lain yang lahir normal.

REGLET plastik berwarna hijau masih terselip pada selembar kertas braille ketika Ismail, 16, siswa tunanetra di SMA Negeri 2 Payakumbuh, Provinsi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News