Menghabiskan 10 Malam Terakhir Ramadan di Jantung Kota Makkah

Selalu menjadi mimpi bagi saya dan banyak jutaan umat Muslim lainnya di dunia untuk merasakan bulan Ramadan langsung di dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Ramadan tahun lalu, saya terbang dari Melbourne, singgah di Jakarta untuk melanjutkan penerbangan menuju Madinah, yang dijuluki sebagai kotanya Nabi.
Rombongan kecil kami yang terdiri dari delapan orang mendarat di Prince Mohammad bin Abdulaziz Airport di malam hari dan tidak butuh waktu lama untuk mengambil koper dan melewati bagian imigrasi.
Kami pun langsung menuju hotel yang letaknya tidak jauh dari pintu belakang Masjid Nabawi. Suasana Ramadan langsung terasa karena malam itu kerumunan orang masih lalu lalang dan kios-kios makanan di sekeliling hotel masih buka.
Alunan ayat Quran yang dilantunkan imam masih terdengar karena shalat taraweh di Masjid Nabawi baru berakhir sekitar pukul 11 malam.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, puasa di Arab Saudi masih jatuh di musim panas. Artinya waktu siang lebih panjang sehingga kami berpuasa sekitar 16 jam dengan suhu udara mencapai 50 derajat, meski Madinah relatif lebih dingin.
Menjelang adzan Ashar ribuan orang sudah mulai menuju Masjid Nabawi karena mereka ingin mendapatkan tempat di dalam masjid untuk 'ngadem'.
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia
- Dunia Hari Ini: Katy Perry Ikut Misi Luar Angkasa yang Semua Awaknya Perempuan
- Dunia Hari Ini: Demi Bunuh Trump, Remaja di Amerika Habisi Kedua Orang Tuanya