Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi

Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi
Dahlan Iskan
Yang disebut kasta itu ternyata bukan hanya empat (Brahma, Ksatria, Waisya, dan Sudra) seperti yang kita pelajari dalam buku sejarah di sekolah. Masih ada satu lapisan lagi yang masuk kasta Sudra pun tidak layak. Kasta ini dulu tidak bernama –setidaknya dirinya sendiri tidak pernah memberi nama. Tapi, karena orang di lapisan atasnya harus menyebut mereka, maka nama tidak resmi kemudian lahir.

Banyak sekali sebutan untuk mereka. Kian lama rupanya kian perlu menyeragamkankannya. Maka, disebutlah mereka kaum jembel. Kalangan pejuang dan intelektual modern lantas menyebut mereka ’’kalangan tidak tersentuh kemanusiaan’’. Mahatma Gandhi, sebagai pejuang utama bangsa India, menyebut mereka kaum harijan alias ’’anak-anak Tuhan’’. Tapi terakhir, mereka sendiri, dengan nada memberontak meresmikan nama kelompok mereka dengan sebutan Dalit.

Kalau dulu lapisan atas menyebut nama kelompok mereka itu dengan agak berbisik, kini kelompok itu sendiri yang justru menggunakannya dengan terang-terangan, resmi, dan lantang. Karena sistem demokrasi memungkinkan, belakangan lahir pula partai resmi kelompok ini: Partai Dalit.

Pejuang penghapusan kasta di India yang paling hebat adalah: B.R. Ambedkar. Saking kerasnya orang ini, sampai-sampai Gandhi yang menyebut mereka sebagai ’’anak-anak Tuhan’’ pun dia kecam dan dia musuhi habis-habisan. Sampai ke forum internasional kala itu. Dengan memberi sebutan itu, kata Ambedkar, sama saja Gandhi meresmikan terbentuknya satu kasta lagi di bawah kasta Sudra dengan nama ’’kasta anak-anak Tuhan’’.

Kenyataannya sekarang, 70 persen umat penganut Kristen atau Katolik di India berasal dari kalangan Dalit. Masih terus menjadi pembicaraan apakah hal itu karena Kristen lebih bisa menerima mereka, atau memanfaatkan mereka atau mereka sendiri yang lebih homing berada di sana. Yang masuk Islam atau Buddha juga minim. Mayoritas Dalit yang jumlahnya sekitar 200 juta, masih tetap Hindu. Mereka menyebutkan di Kristen dan Islam, ternyata dalam kenyataan masyarakatnya juga masih menganut kasta, hanya dengan istilah berbeda. Setidaknya begitulah pengataman Ambedkar.

Sampai sekarang dari 156 bishop di sana hanya enam yang dari Dalit. Ambedkar sendiri lahir dari keluarga Dalit. Sejak kecil dia diajari membaca kitab klasik Mahabharata dan Ramayana. Hanya, bapaknya jadi tentara penjajah Inggris. Dengan posisi bapaknya itu, Ambedkar bisa masuk sekolah. Hanya, teman-teman dan gurunya tetap tidak bisa menerima kalau Ambedkar duduk bersama mereka di dalam kelas. Maka bocah Ambedkar mengikuti pelajaran dari luar tembok.

Ambedkar cilik juga tidak bisa minum. Peralatan minum seperti gelas dan keran tidak boleh digunakan untuk orang Dalit. Kalau toh dia harus minum, harus ada seseorang yang mengucurkan air dari atas. Ini agar tangan dan mulut seorang Dalit tidak menyentuh gelas atau ujung keran itu. Dengan cara minum seperti itu, kalau mulut seorang Ambedkar tidak berhasil menangkap air, kesempatan minum pun hilang. Dan tak terulang lagi.

Ambedkar rupanya ’’anak Tuhan’’ yang pandai dari sononya. Meski hanya belajar secara mengintip dari luar kelas, dia selalu lulus dengan amat baik. Mulai SD sampai SMA. Ketika Ambedkar masuk universitas di Bombay, dia anak Dalit pertama yang masuk perguruan tinggi. Penjajah Inggris dengan beasiswa yang minim lantas mengirimnya ke sekolah lebih tinggi di Inggris. Lalu dapat beasiswa juga ke Amerika. Dia belajar apa saja: hukum, sosiologi, bahkan kemudian keuangan. Kembali ke India dia menghadapi kenyataan sosial di masyarakatnya: dikawinkan dengan gadis berumur 9 tahun yang sudah dipersiapkan keluarganya. Tahun itu juga memperoleh anak.

KAPANKAH sistem sosial yang masih berkasta-kasta akan berakhir di India? Sehingga, kemajuan ekonominya yang pesat beberapa tahun terakhir ini bisa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News