Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi

Mengikis Kasta dengan Momentum Ekonomi
Dahlan Iskan
Ambedkar menjadi pejuang hebat untuk kaumnya. Dia membenci apa saja yang ada di sistem sosial India saat itu –awal 1900. Sistem kastanya, sistem keagamaannya, dan bahkan sistem pemerintahannya –meski pemerintah itu yang membuatnya bisa sekolah di Inggris. Di Inggris itulah rupanya dia bersentuhan dengan gerakan baru yang memang lagi hangat di seluruh Eropa: ajaran Karl Marx dan terjadinya revolusi Bolsyewik di Rusia.

Bahkan, ketika istrinya berkali-kali minta izin untuk ziarah ke kuil Pandhapur yang menjadi dambaan hidupnya, Ambedkar tetap tidak mengizinkannya. Ambedkar merasa istrinya hanya akan menjadi korban diskriminasi di kuil itu. ’’Kelak saya akan bikinkan kuil Pandhapur sendiri,’’ katanya kepada istrinya. Sampai istrinya meninggal beberapa tahun kemudian, keinginan ziarah itu tidak terkabul. Kuil yang dijanjikan juga belum terbangun.

Ketika Inggris memberikan kemerdekaan India pada 1947, Ambedkar menjadi ketua tim perumus UUD India. Dia juga pernah jadi ketua parlemen. Fotonya kini abadi menghiasi gedung parlemen India bersama foto Mahatma Gandhi yang pernah dia musuhi itu. Di hari tuanya yang menderita karena diabetes, dia mendalami ajaran Buddha dan resmi masuk agama itu. Kehebohan melanda India karena bersama itu tercatat setengah juta pengagumnya ikut masuk Buddha.

Peristiwa itu pada tahun-tahun berikutnya yang panjang terus memicu ketegangan antara orang Hindu ekstrem dan Buddha ekstrem. Suatu ketika patung Ambedkar tiba-tiba berkalung rentengan sandal jepit. Umat Buddha yang tentu berlatar belakang Dalit tersinggung dan marah. Begitulah ketegangan demi ketegangan masih terus terjadi. Di permukaan maupun di bawahnya.

Namun, dengan demokrasi, semua persoalan menjadi bisa lebih dibuka. Tapi, karena hidup menyebar di banyak negara bagian, mereka tidak kunjung berhasil menang pemilu dan menguasai pemerintahan. Pemilu sistem distrik di India tidak memungkinkan terakumulasinya suara Dalit. Baru tahun lalu Partai Dalit meraih mayoritas di negara bagian Uttarpradesh (bangunan Taj Mahal yang terkenal itu berada di provinsi ini). Maka, kini jabatan menteri besar (setingkat gubernur tapi dengan kekuasaan otonomi yang jauh lebih besar) dipegang tokoh Dalit. Wanita pula. Namanya Mayawati.

Mayawati sebenarnya pernah menjadi presiden di negara bagian dengan penduduk hampir 200 juta jiwa itu (hampir sebesar Indonesia) tiga tahun lalu, tapi hanya sebentar. Tidak sampai satu tahun. Mayawati dijatuhkan lawannya dengan tuduhan korupsi. Kini posisi Mayawati lebih kukuh. Namanya lebih populer (dalam pengertian termasuk membuat heboh) setelah dia mengambil putusan ini: mengangkat Ambedkar sebagai pahlawan resmi negara bagian Uttarpradesh. Belum cukup dengan itu, Mayawati mengangkat Sidharta Gautama –Tuhan yang mahaesa umat Buddha– juga sebagai pahlawan resmi.

Salah satu pemikiran positif kini juga mulai berkembang di India. Para pejuang Dalit yang mulai masuk kalangan politik atas, sudah mau mengubah strategi perjuangan. Mereka umumnya sepakat tidak perlu lagi secara vulgar memperjuangkan kaum Dalit. Hal itu hanya akan sangat sensitif untuk kasta yang di atas yang secara riil masih memegang sistem sosial yang berlaku. Kini para pejuang Dalit hampir sepakat membungkusnya dengan ’’memperjuangkan golongan miskin dari kasta apa pun’’. Dengan demikian, toh kalau berhasil, yang akan paling terangkat adalah kaum Dalit.

Saya kira strategi baru itu memang lebih tepat. Sebab, di luar Dalit masih ada 300-an subkasta yang tergolong sangat miskin. Jumlah mereka ini saja mencapai sekitar 500 juta orang!

KAPANKAH sistem sosial yang masih berkasta-kasta akan berakhir di India? Sehingga, kemajuan ekonominya yang pesat beberapa tahun terakhir ini bisa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News