Mengkritik Presiden Hal Biasa, Jangan Buru-buru Menudingnya sebagai Penghinaan
jpnn.com, SEMARANG - Pengamat politik Teguh Yuwono mengingatkan semua pihak untuk tidak buru-buru menuding kritikan sebagai penghinaan kepada presiden.
Dosen di Universitas Diponegoro ini mengingatkan hal tersebut, karena Indonesia menganut sistem demokrasi.
Di mana dalam sebuah negara demokrasi, kritikan merupakan hal yang biasa ditujukan kepada kepala negara.
"Kalau orang yang mengkritik atau menghina presiden, kemudian memaknainya untuk pemakzulan presiden, tentu overacting, ya," ujar Teguh Yuwono di Semarang, Minggu (4/7).
Menurut Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini, lembaga yang berwenang membuktikan ucapan seseorang kritikan atau penghinaan kepada kepala negara adalah peradilan.
Teguh Yuwono juga mengingatkan kembali bahwa negara demokrasi basis pertama adalah negara hukum.
Jadi, apakah seseorang itu mengkritik, menghasut, melakukan hoaks, atau provokasi, majelis hakim pengadilan yang akan membuktikannya.
Menyinggung soal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal penghinaan terhadap presiden di dalam KUHP, alumnus Flinders University Australia ini menyatakan tidak perlu pasal-pasal tersebut masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Teguh mengingatkan bahwa mengkritik presiden hal biasa di negara demokrasi, karena itu jangan buru-buru menudingnya sebagai penghinaan.
- PPDS Anestesi Undip Segera Dibuka Kembali, Rektor Suharnomo: Alhamdulillah, Ini Ada Hikmahnya
- Ekon Goes to Campus di Undip, Bahas Peran Generasi Muda dalam Transformasi Ekonomi Nasional
- Rektor UIN Suska Prof Khairunnas Rajab Tersangka, Begini Kasusnya
- Buntut Saling Lapor, Rektor-Dosen UIN Suska Tersangka
- Polda Jateng Usut Dugaan Perundungan Dokter PPDS Anestesi Undip
- BPIP Menggandeng Pemkab Klaten dan Universitas Diponegoro untuk Memperkuat Ideologi Pancasila