Mengritik para Pengritik SBY
Senin, 20 September 2010 – 00:22 WIB
Lopa kala itu syurut dari tekadnya karena “intervensi” pemerintah pusat. Belakangan ia malah ditarik dari jabatannya. Terlepas intervensi itu salah, agaknya ada benarnya. Sebab macetnya roda pemerintahan di sebuah provinsi adalah “petaka” yang tak kalah dahsyatnya. Jika saja Lopa – semoga arwah almarhum lapang di makamnya –menanganinya secara step by step, barangkali semua para koruptor terlibat akan menerima ganjarannya.
Idemdito saja dengan perjuangan melawan colonial Belanda pada masa revolusi pisik, 1945-1949. Jika saja para pemimpil sipil tak memilih berunding secara diplomatik, tetapi mendukung perjuangan bersenjata belaka, barangkali penyerahan kedaulatan belum tentu berlangsung pafa masa 1949-1950. Barangkali, perjuangan bersenjata masih akan berlarut-larut. Ditinjau dari sudut kemampuan tentara dan persenjataannya, agaknya Indonesia pasti kalah.
Keberanian saja tidak cukup. Diperlukan strategi yang sistematis. Mungkin terasa kurang cepat. Tetapi secara perlahan bergerak ke depan, dan tak pernah mundur. Konsistensi ini yang harus dipelihara, bahkan oleh presiden pengganti SBY setelah Pemilu 2014 mendatang.
Percayalah, korupsi belum akan sirna dari bumi Indonesia di akhir masa jabatan SBY. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh presiden penerus, mungkin oleh satu atau dua presiden lagi. Korupsi agaknya sudah sedemikian merasuk ke sumsum birokrasi di Tanah Air, termasuk hingga ke provinsi, kabupaten, kota bahkan hingga ke kecamatan, kelurahan dan pedesaan.