Mengunjungi Pasar Wulandoni, Pasar Barter di Nusa Tenggara Timur

Seekor Ikan Terbang Dapat Satu Sisir Pisang

Mengunjungi Pasar Wulandoni, Pasar Barter di Nusa Tenggara Timur
AKRAB DAN GUYUB: Suasana transaksi jual beli di Pasar Wulandoni, Lembata, NTT. Di pasar ini pedagang dan pembeli saling tukar barang yang diinginkan. Foto: Tri Mujoko/Jawa Pos

Tidak sampai satu jam, Rosa sudah mendapatkan satu karung pisang. Dia juga ”membeli” pinang sirih untuk kebutuhan sehari-hari. Di Wulandoni pinang sirih wajib ada di setiap keluarga karena hampir semua perempuan di sana mengunyah sirih sebagai kebiasaan. ”Biasanya, untuk mendapatkan satu bungkus pinang sirih, saya tukar dengan ikan asin,” jelas dia.

Ikan di Pasar Wulandoni memang dihargai lebih tinggi daripada hasil bumi dari pegunungan. Lima potong kecil ikan terbang asin, misalnya, dihargai Rp 10 ribu. Uang sebesar itu setara dengan harga sebotol kecap minyak goreng. ”Tapi, minyaknya tidak mau ditukar ikan. Sehingga harus pakai uang dulu,” papar Rosa.

Fauziyah, penjual ikan dari Lebala, juga gagal menjual ikan segarnya. Dia membawa ikan cucut ukuran besar yang akan ditukarkan dengan beberapa sisir pisang. Namun, hampir semua pedagang menolak ikan itu karena terlalu besar. ”Ini sulit diolah,” kata seorang pedagang yang sempat ditawari Fauziyah.

Tidak putus asa, Fauziyah terus berusaha menjual ikannya ke para pedagang lain. Tapi, tetap tidak ada yang mau. Dia akhirnya membawa ikan tersebut ke pedagang yang mau membeli dengan uang. ”Lumayan, dapat Rp 25 ribu,” ungkapnya gembira.

Harga barang yang dipakai untuk transaksi sudah baku sehingga tidak pernah terpengaruh inflasi seperti yang terjadi di pasar pada umumnya. ”Di sini kami tidak terpengaruh harga minyak yang naik. Karena minyak juga dibuat secara alami sehingga kami tinggal menukarnya dengan barang lain,” ujar Fauziyah.

Pasar barter tersebut rupanya telah dijadikan komoditas wisata bagi pemerintah desa setempat. Karena itu, pengunjung asing yang akan ikut dalam proses transaksi maupun hanya melihat-lihat pemandangan langka tersebut perlu ”membayar” tiket lebih dulu kepada petugas pasar. Biasanya pengunjung akan digiring ke kantor kepala desa.

”Mister, mari ikut saya ke kantor. Daftar nama dulu,” ujar petugas itu berulang-ulang kepada seorang turis asing yang ingin mengabadikan kegiatan jual beli di pasar tersebut.

Setelah didaftar, si turis akan diminta memberikan sumbangan untuk pembangunan desa. Besarnya bervariasi. Turis lokal membayar Rp 50.000, sedangkan turis asing Rp 75.000. ”Ini dana untuk pembangunan di sini.”

PADA era modern saat ini, ternyata masih ada pasar yang menerapkan sistem barter barang dalam transaksi bisnis. Hal itu bisa disaksikan di Pasar

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News