Mengunjungi Tel Aviv Israel, Kota Nomor Dua Setelah Silicon Valley

Mengunjungi Tel Aviv Israel, Kota Nomor Dua Setelah Silicon Valley
ON 24 JAM: Salah satu sudut perpustakaan kota Tel Aviv yang diubah menjadi ruang kerja entrepreneur start-up Kamis (31/3). FOTO: Abdul Rokhim/ JAWA POS

Total berdasar catatan pemerintah hingga akhir 2015, ada lebih dari 80 kebangsaan di Israel sehingga membuatnya menjadi bangsa kecil dengan penduduk paling heterogen di dunia. 

Karena arus imigrasi besar-besaran itulah, penduduk Israel berlipat ganda hanya dalam dua tahun eksistensinya. Berselang tujuh tahun kemudian, jumlah penduduk meledak menjadi tiga kali lipat. Dan kini, data terakhir 2015, jumlah penduduk Israel mencapai 8 juta jiwa. Berarti, itu sudah mencapai 20 kali lipat jumlah penduduk saat deklarasi dibacakan 68 tahun lampau. 

Penduduk yang terus bertambah tentu menuntut pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin besar pula. Pada awal eksistensinya, ekonomi Israel mandek. Uang negara tersedot untuk pendatang. ”Segala sesuatu dijatah,” ungkap Shimon Peres, 92, mantan perdana menteri dan penerima hadiah Nobel. 

”Kami hanya punya buku kupon, sebutir telur tiap minggu, dan antrean panjang,” jelasnya saat ditemui di kantornya yang indah dengan view Laut Mediterania, Kamis (31/3). 

Kondisi miskin papa itu bukan satu-satunya penderitaan. Permusuhan dengan semua negara tetangga yang mengelilinginya (Lebanon dan Syria di utara, Jordania di Timur, dan Mesir di barat) membuat Israel harus bertempur di lima perang untuk bertahan hingga sekarang. 

Belum lagi, kebangkitan pejuang Palestina di tepi barat dan Jalur Gaza yang menuntut hak untuk merdeka menciptakan konflik tak berujung. 

Karena itu, selama lima hari tinggal di Israel, merasakan degup warga satu kota ke kota lain, mulai Tel Aviv hingga kota tua Jerusalem, bertemu ibu rumah tangga, pemilik kawasan peternakan (farm), anak muda pemilik start- up company bernilai jutaan dolar AS, hingga Perdana Menteri Benyamin Netanyahu, suasana letih akan kondisi tak stabil sangat terasa. 

Anak-anak di Kibutz (koloni mandiri menyerupai desa) Netiv Haasara akan bertanya kepada orang tuanya jika dalam sebulan tidak ada lontaran roket dari Jalur Gaza yang hanya berjarak 1,5 km dari rumah mereka. 

Bus yang disopiri Muta dari Kuba yang dikawal tentara perempuan peranakan Peru, Hana, dan didampingi tour guide keturunan Rusia, Lior Ben David,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News