Menilik Kedudukan Penguasa dan Rakyat Dalam Perspektif Hukum

Oleh Agus Widjajanto - Praktisi Hukum & Pemerhati Polsosbud

Menilik Kedudukan Penguasa dan Rakyat Dalam Perspektif Hukum
Praktisi Hukum & Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Sistem Pemilu Langsung dengan biaya/cost yang begitu tinggi sehingga antara modal dengan pendapatan sangat tidak berimbang, meskipun ada upaya untuk melakukan pencegahan korupsi.

Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah oleh penegak hukum, maka tidak heran banyak kasus kepala daerah terjerat korupsi.

Kedua, budaya. Korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin.

Fakta ini bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita.

Ketiga, Peraturan perundang-undangan yang kadang ambivalen/tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. Contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi: "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3."

Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para tindak pidana korupsi cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsinya.

Hal ini merintangai upaya pengembalian  kerugian negara. Lain halnya apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana.”

Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset yang ada."

Dalam negara hukum, kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama dan sederajat (equality before the law).

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News