Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya

Menilik Upaya Jepang Menambah Jumlah Penduduknya
PROBLEM KEPENDUDUKAN: Para perempuan lanjut usia di Bandara Internasional Fukuoka, Jepang. Mereka ada di mana-mana. (Ariyanti Kurnia/Jawa Pos)

’’Selain karena makin banyaknya orang yang tidak menikah, tingginya biaya membesarkan anak dianggap sebagai faktor besar penyebab orang tidak mau punya baby,’’ jelas Profesor Dahlan Nariman, 43, pria Indonesia yang bekerja di Jepang sebagai wakil dekan di Ritsumeikan Asia Pacific University, Kota Beppu, Prefektur (semacam provinsi) Oita.

Jika bayi yang lahir semakin sedikit, otomatis angka mereka yang menua semakin banyak. Selama sembilan hari (8–16/2) di Jepang memenuhi undangan Kementerian Luar Negeri (Ministry of Foreign Affairs) Jepang, saya merasakan atmosfer itu. Memang, saya bisa dengan mudah menemukan bagaimana gerak anak-anak muda berdandan stylish khas Jepang di pusat-pusat keramaian yang disesaki mal-mal semacam Shibuya.

Kita juga akan gampang melihat laki-laki dan perempuan usia produktif memakai business attire di pusat-pusat perkantoran di Tokyo. Tetapi, di luar itu, rasanya lebih banyak ditemui mereka yang lanjut usia.

Para lansia tersebut masih sangat aktif. Energi mereka seolah tidak ikut redup, meski usia berangsur senja. Ada yang menjadi sopir bus, petugas survei, sampai menjaga toko. Jalan-jalan saja ke pusat suvenir Asakusa, Tokyo, yang juga menjadi tempat berdirinya kuil Buddha terkenal, Sensoji. Kebanyakan penjualnya adalah para lansia. Jangan khawatir soal pelayanan. Mereka tidak kalah sigap oleh penjual muda. Misalnya, dengan cepat membungkus rapi satu demi satu magnet kulkas yang saya beli.

Hanya karena keterbatasan bahasa dan budaya menjaga privacy yang begitu tinggi, sangat susah mencari tahu nama-nama mereka. Saya hanya bisa memperkirakan usia mereka, lalu bertanya, ’’So, are you seventy years old?’’ yang dijawab dengan kata haik (iya) bersambung senyum ramah oleh sepasang penjual di salah satu toko.

Situasi serupa makin terasa kuat ketika berada di kota-kota kecil. Misalnya, Beppu yang menjadi kawasan wisata pemandian air panas (hot spring). Wilayah di bagian Pulau Kyushu itu berpenduduk 120.933 orang. Usia anak-anak di bawah 15 tahun hanya 11,4 persen. Hampir sepertiganya, yakni 27,8 persen, berusia lebih dari 65 tahun. Menurut Dahlan, jumlahnya bisa sebanyak itu karena kota-kota kecil merupakan tempat favorit orang Jepang untuk menghabiskan masa tua.

Mereka yang saat muda dulu bekerja di Tokyo, Osaka, atau Fukuoka, begitu pensiun pada usia 60 tahun, memilih hidup di tempat tenang seperti Beppu. ’’Di sini memang sangat terasa nuansa kehidupan yang didominasi orang tua. Para tetangga di apartemen, supermarket, dan transportasi umum, sebagian besar lansia,’’ ungkap Dahlan yang tinggal di Beppu sejak 2002.

Meski secara fisik masih kuat, banyaknya penduduk lansia yang terus mendominasi tentu memberikan impact yang tidak baik bagi sebuah negara dilihat dalam banyak lini. Terutama terkait dengan sosial ekonomi. Pemerintah setempat sangat menyadari hal tersebut. Persebaran usia penduduk itu menjadi isu penting yang mereka bahas.

Berdasar data Ministry of Health, Labour, and Welfare (MHLW) Jepang pada April 2014, sebesar 25 persen warga mereka saat ini berada dalam kelompok

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News