Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budaya

Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu
Praktisi hukum Agus Widjojanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Hal itu juga yang mendorong dilakukannya rekonsiliasi atas kejahatan dalam politik Aphartheid di Afrika Selatan.

Dalam kontek kondisi di Indonesia khususnya, sistem peradilan di Indonesia yang katanya merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, sangat memprihatinkan.

Sebab, hukum dijadikan alat politik  transaksional. Putusan hakim bukan lagi jadi mahkota hukum, tetapi sebagai sarana untuk mendulang kepentingan.

Hukum sudah menjadi ladang bisnis. Siapa kuat maka akan jadi pemenang seperti dalam hukum rimba.

Konsep dasar dibentuknya hukum adalah untuk mengatur tatanan dalam masyarakat agar masyarakat terlindungi baik hak maupun keselamatan dan kewajibannya dalam sebuah negara demi mencapai kesejahteraan bersama sekaligus membatasi kekuasaan absolut dari penyelenggara negara.

Dalam dunia modern saat ini, dalam dunia teknologi  ditemukan hukum gratifikasi yang menjadi dasar dari penemuan teknologi ruang angkasa dan pesawat terbang.

Demikian juga ditemukan hukum Archimedes dan Pitagoras. Semuanya untuk kepentingan masyarakat agar bisa berguna sebagai alat mencapai kesejahteraan bersama.

Demikian juga sistem Hukum dalam suatu peradilan sebuah bangsa diciptakan untuk kepentingan bersama sebagai alat perlindungan masyarakat.

Rekonsiliasi Nasional bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News