Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budaya

Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu
Praktisi hukum Agus Widjojanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Dalam penegakan hukum tujuan akhirnya juga untuk kesejahteraan bersama.

Dalam kontek peradilan di negeri ini, saat ini yang sangat memprihatinkan. Pada tahun 1980-an, Prof Satjipto Rahardjo mengetengahkan ide terobosan hukum yang tidak hanya terpaku pada dogma aturan baku soal pasal-pasal baik dalam KUHP maupun KUHPerdata beserta hukum acaranya.

Namun, memberikan kewenangan mutlak kepada hakim untuk bisa menciptakan hukum, menggali hukum baik tertulis maupun yang hidup dalam masyarakat agar bisa memutus perkara seadil-adilnya  dalam kapasitas jabatan yang objektif, sebagai wakil Tuhan dan negara.

Yang dikenal dengan konsep aliran hukum progresif bahwa hukum dibentuk dan diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Untuk menciptakan hukum sebagai panglima dan memperlakukan derajat yang sama di hadapan hukum (Equality Before The Law).

Bahwa peraturan hukum hanya sarana perangkat kitab, hidup dan matinya hukum tergantung dari pada hakim dan penegak hukum yang lain baik polisi di tingkat penyelidikan dan penyidikan, serta jaksa pada proses penuntutan.

Bahkan juga kepada pengacara yang secara aturan sistem peradilan sebagai salah satu penegak hukum yang membela terdakwa/tersangka. Di situlah sebenarnya ruhnya hukum tersebut bisa hidup dan tegak atau mati seperti halnya pohon yang tidak berdaun dan berbuah.

Kondisi saat ini hukum telah kehilangan ruhnya. Semua ditransaksikan sebagai alat bisnis.

Rekonsiliasi Nasional bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News