Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budaya

Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu
Praktisi hukum Agus Widjojanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Dalam fenomena tersebut maka sebenarnya dunia pendidikan kita dalam dunia akademis telah gagal untuk melakukan pencerahan dalam sistem pendidikan saat proses dikawah Candradimuka sebelum diangkat sebagai pejabat penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi maupun pengacara.

Perangkat aturan hanya kumpulan dogma, yang tidak lagi punya ruh keadilan karena jiwa kita. Rohani kita miskin bahkan sudah mati untuk memanifestasikan alat hukum tersebut untuk sebuah keadilan.

Telah gagal dalam mencetak manusia-manusia berpendidikan yang mempunyai hati nurani dan kepekaan dalam menjunjung keadilan yang ada hanya terpaku pada hukum positif dalam aliran positivisme.

Salah satunya termasuk dalam menafsirkan tentang gratifikasi yang telah dimasukkan dalam delik pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Salah satu contoh negara yang menolak menandatangani konvensi internasional tentang gratifikasi adalah Jepang karena sudah menjadi tradisi budaya setempat.

Namun, toh Jepang adalah negara yang tingkat korupsinya sangat rendah. Di negara kita pun, sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak zaman kerajaan-kerajaan sampai dengan sekarang memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih, membawa/menghadiahkan sesuatu dalam event-event resepsi pernikahan, ulang tahun, meninggal dunia, membalas budi baik orang, menghargai kinerja orang yang berprestasi, dan lain sebagainya adalah budaya masyarakat kita.

Tepatnya lebih pada persoalan sopan santun, etika, moral. Dalam pergaulan bersama di masyarakat, orang tua sering mengingatkan soal etika, seperti ucapan: terima kasih, tolong, dan mohon maaf.

Adalah dinilai tidak beretika ketika orang sudah dibantu, tetapi tida ada ucapan terima kasihnya dari orang yang dibantu kepada orang yang membantunya.

Rekonsiliasi Nasional bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News