Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budaya

Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu
Praktisi hukum Agus Widjojanto. Foto: Dokumentasi pribadi

Ungkapan terima kasih itu bisa disampaikan secara verbal atau dalam bentuk pemberian sesuatu sebagai wujud apresiasi.

Jadi, bukan soal pamrih atau tidak pamrih. Namun, sekali lagi-lebih pada soal etika.

Adanya larangan gratifikasi (dengan beragam bentuk dan jenisnya) dalam Undang-Undang Tipikor justru tidak sesuai dengan tradisi, budaya, adat, etika dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah berlangsung turun-menurun.

Apakah kemudian larangan tersebut menghilangkan korupsi di Indonesia? Faktanya korupsi masih terjadi secara masif di negeri ini.

Mengapa tidak fokus kepada pengembalian kerugian negara dengan sukarela bila terbukti korupsi dalam suatu penyelidikan dan proses penyidikan dengan menghilangkan aspek pemidanaan kecuali merupakan jalan terahir yang tidak bisa lagi dilakukan sesuai doktrin hukum pidana.

Dalam dunia politik telah kita saksikan bersama dari sejak berdirinya negara ini yang diproklamasikan oleh Soekarno - Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai momentum kemerdekaan sebuah bangsa, selalu terjadi konflik politik dengan kekerasan yang mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia, dari pemberontakan-pemberontakan karena merasa tidak diperhatikan secara adil dari pemerintah pusat.

Saat itu melahirkan pemberontakan DITII di Jawa Barat, Permesta di Sumatera dan Sulawesi, Pemberontakan PKI 1948, pemberontakan Gerakan 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan Gestapo PKI, saat pemerintahan Orde Lama, hingga dilanjut kepada pemerintahan Orde Baru dalam peristiwa Talang Sari di Lampung, peristiwa Tanjung Priuk.

Kemudian peristiwa Semanggi dalam tahun 1998 saat menjelang jatuhnya Orde Baru, yang dituduh adanya berbagai penculikan aktivis, hingga menimbulkan dendam berkepanjangan antara keturunan Bung Karno dengan keturunan Pak Harto, yang sangat dirasakan sekaliber ketokohan Pak Harto yang berkuasa 32 Tahun yang telah berbuat banyak dan sangat berjasa kepada bangsa dan negaranya saja untuk status gelar Pahlawan Nasional saja, hingga kini belum ada kejelasan.

Rekonsiliasi Nasional bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News