Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme
Jumat, 05 Maret 2010 – 14:37 WIB
Ketika Bung Karno cs pulang ke Jakarta pada 14 Agustus 1945, tanpa tahu bahwa bom pertama tentara sekutu telah jatuh di Jepang, dan negeri itu mulai oleng. Serta-merta Sjahrir mempengaruhi Bung Hatta supaya tak lagi perlu berunding dengan Jepang yang pasti akan menyerah kepada Sekutu. Hatta tidak yakin dan membawa Sjahrir ke Bung Karno yang juga tak yakin kepada analisis Sjahrir. Keduanya lebih suka kemerdekaan diumumkan pada 18 Agustus 1945. Sjahrir marah besar.
Tak ayal, sejumlah pemuda dipimpin oleh Adam Malik, Chaerul Saleh dan Sukarni memutuskan menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok. Tapi itu setelah mereka menemui Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dan Bung Karno tetap menolak segera memproklamirkan kemerdekaan. Akhirnya, Bung Karno dan Bung Hatta rapat dengan anggota PPKI dan sejumlah pemimpin pemuda di rmah Laksamana Maeda, dan disiapkanlah naskah proklamasi yang diumumkan pada 17 Agustus 1945.
Sjahrir tak setuju dan tak ikut menculik Bung Karno dan Hatta, tetapi ia juga tak ikut rapat di rumah Maeda. Ia tak suka cara kekerasan main culik, tapi ia pun tak setuju jika kemerdekaan Indonesia seolah-olah anugerah dari Jepang yang akan keok kepada Sekutu. Sjahrir cenderung realistis melihat munculnya kekuatan global Amerika dan sekutunya sebagai pemenang PD II, dan Jerman, Italia dan Jepang sebagai pecundang.
Pelita Hati