Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme

Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme
Menjaga Sjahrir, Menjaga Realisme
Politik realisme itupula yang dianut oleh sejumlah intelektual Orde Baru seperti Wijoyo Nitisastro dkk. dalam menyusun kebijakan ekonomi di masa Soeharto. Bukan tanpa alasan jika Orde Baru pun semakin dekat ke Barat yang dipimpin oleh Amerika, ketimbang masa Soekarno yang berkiblat ke Kremlin (dan Peking). Terbukti Blok Timur yang dikemudikan Sovyet tumbang  pada 1980-an, setelah simbol "Tembok Berlin" runtuh dan disusul periode "tsunami" bagi komunisme. Persis analisis Sjahrir tentang Perang Dunia II.

Namun ketika kini kekuatan global dunia, baik politik dan ekonomi yang tak lagi semata dihegemoni AS, bagaimanakah kita meletakkan visi realisme Sjahrir? Munculnya kekuatan baru, seperti China dan sebelumnya Jepang, bahkan juga Korea Selatan dan India, Indonesia yang sudah masuk ke G-20, tampaknya tak lagi harus  membeo kepada AS dalam perekonomian global.

Realisme toh tidak bermakna tunggal, karena bukankah ada multi-realisme setidaknya dalam memandang sebuah kenyataan? Menyebarnya pusat kekuatan global memungkinkan Indonesia memainkan peran non blok, dalam makna semua adalah teman. Ibarat pebinis, Indonesia meletakkan komoditasnya di banyak keranjang. Lagi pula perang dingin pun telah lama usai.

Dalam hal perekonomian, misalnya, kita tak harus terbelenggu oleh sistem ekonomi sosialis di satu kubu dan ekonomi neoliberal di pihak lain. Barangkali gagasan PSI dalam kongres I pada 1952 tentang mixed economic (ekonomi campuran) patut menjadi referensi. Kala itu, selain dapat menerima arus modal asing ke Indonesia, PSI juga dapat menyetujui kapitalisme liberal, tetapi harus selalu dikontrol oleh negara dan parlemen.

KEMENAKANNYA, penyair Chairil Anwar mencantumkan nama Bung Sjahrir bersama Bung Karno dan Bung Hatta dalam sajak "Krawang-Bekasi." Sjahrir

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News