Menuju Cita Demokrasi Deliberatif

Oleh: Benny Sabdo - Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara & Panwas Kota Jakarta Utara Pilkada DKI 2017

Menuju Cita Demokrasi Deliberatif
Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara & Panwas Kota Jakarta Utara Pilkada DKI 2017 Benny Sabdo. Foto: Dokumentasi pribadi

Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio. Istilah ini berarti konsultasi mendalam atau kita telah memiliki kosa kata politis, yaitu musyawarah. Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai konsep dalam teori diskursus (Hardiman, 2009: 128).

Teori diskursus dari filsuf Habermas ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia pasca-Soeharto yang ingin mengedepankan hukum dan hak-hak asasi manusia dalam proses demokratisasi dan reformasi.

Demokrasi deliberatif sangat dibutuhkan untuk Indonesia agar negara tidak terjebak dalam godaan politik identitas yang menindas minoritas dan pluralitas.

Konferensi International Commission of Jurist memperluas konsep mengenai Rule of Law di Bangkok tahun 1965. Komisi ini menegaskan untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis, yaitu perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan pendidikan kewarganegaraan (Santoso dan Budhiati, 2019: 9).

Dalam perkembangan konsep negara demokratis sudah berbeda dengan konsep demokrasi pada abad ke-19 yang tidak secara eksplisit kata lembaga perwakilan dan pemilu.

Dalam konteks ini, pemilu merupakan salah satu syarat dasar terselenggaranya pemerintahan demokratis.

Demokrasi saat ini memang mengambil bentuk demokrasi berdasarkan perwakilan, merupakan bentuk paling relevan dewasa ini karena negara-negara memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang tidak memungkinkan terwujudnya demokrasi langsung sebagaimana terjadi di negara kota zaman Yunani kuno.

Menurut pemikir demokrasi Juan J. Linz, dalam sistem demokrasi perwakilan mensyaratkan adanya kebebasan membuat partai politik dan melaksanakan pemilu yang bebas dan jujur secara teratur.

Politisasi SARA berpotensi menjadi penganggu utama dalam penyelenggaran pemilu. Kecemasan terhadap politisasi SARA muncul karena politik identitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News