Menyengkeram dan Dicengkeram
Sabtu, 11 Desember 2010 – 16:48 WIB
Seberapa jauh gerangan cengkeraman politikus, apalagi seorang ketua umum maupun tokoh dan kader partai ketika dirundung, atau menghadapi masalah hukum? Di suatu hamparan fakta toh banyak politikus yang akhirnya berurusan dengan meja hijau, bahkan sudah menjalani hukuman. Namun masih banyak pula yang tersendat, atau belum disentuh sama sekali, sedari dulu hingga sekarang. Seorang politikus yang menjadi anggota DPR pun punya “cengkeraman” tersendiri, atau mungkin lebih pas dikatakan sebagai “pengaruh.” Memang ada yang sudah diproses secara alot. Tapi ada pula yang belum dapat giliran. Minimal, kita tahu, fraksinya di DPR melalui komisi tertentu bisa memanggil lembaga penegak hukum ke parlemen, suatu posisi bargaining yang mau tak mau tetap diperhitungkan dalam hubungan antarlembaga.
Memang kadar cengkeraman itu akan berbeda- beda tergantung dari posisi seseorang. Jika seorang politikus menjadi presiden, mungkin cengkeramannya lebih dalam, walau belum tentu si politikus yang menjadi presiden itu yang mencengkeram penegakan hukum. Tak mustahil bisa saja sang penegak hukum yang membuat dirinya “dicengkeram.” Entah rikuh, ewuh pakewuh, atau khawatir posisinya bisa digeser.
Baca Juga:
Bahkan seorang politikus yang menjadi menteri pun tak mudah diproses hukum. Dia masuk kabinet tentu saja karena partainya mendukung pemerintahan, yang berarti berada di pusat kekuasaan. Jika pun dia terkena proses hukum juga, biasanya setelah tidak lagi menjadi menteri. Apalagi posisinya di partai pasca pejabat Negara itu tidak pula sentral.
Baca Juga: