Menyengkeram dan Dicengkeram
Sabtu, 11 Desember 2010 – 16:48 WIB
Banyak pemimpin bangsa yang mulanya “baik”, bahkan seorang hero, pembaru, yang dielu-elukan publik bak Marcos dan Soekarno, tapi kemudian menemukan “cela”-nya sendiri, yang gelap, entah menjadi diktator atau koruptor. Posisi yang bias itu selalu didera conflict of interest yang luar biasa dilematis.
Teks konstitusi berkata bahwa parlemen sebagai perpanjangan tangan dan suara partai politik berfungsi check and balances terhadap eksekutif. Tapi sebagai contoh kita sukar membayangkan Fraksi Demokrat berani mengiritik Presiden Yudhoyono dengan tajam demi kepentingan rakyat.
Tampaknya, diperlukan suatu fatsoen politik bahwa seseorang yang tersandung masalah hukum sebaiknya untuk sementara “non aktif” dari posisinya entah di eksekutif dan legislative atau menjadi pengurus sentral sebuah parpol sekalipun. Sebaiknya cukup dengan kemauan moral, meski pun sudah langka di negeri ini. Jika tidak, yang “dipaksa” saja melalui ketentuan sebuah undang-undang.
Fenomena banyaknya politikus yang tersandung dan akan tersandung dengan masalah hukum, sesungguhnya menunjukkan kegagalan system parpol di Indonesia. Ada gejala orang masuk parpol adalah untuk mencari “proteksi politik” jika suatu hari tersandung masalah hukum. Gejala ini telah mengkhianati genesis Budi Utomo, Serikat Islam dan gerakan kebangunan nasional lainnya sebagai benih-benih parpol yang lahir karena dan demi rakyat. Bukan bunker bagi para koruptor. **
Seberapa jauh gerangan cengkeraman politikus, apalagi seorang ketua umum maupun tokoh dan kader partai ketika dirundung, atau menghadapi masalah
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi