Menyerah, 30 Guru di Perbatasan 'Kabur'
Jumat, 06 Agustus 2010 – 12:20 WIB
Masalah klasik lainnya adalah ketiadaan sinyal handphone, sepi, aliran listrik dan air bersih, juga sembako mahal. Ini membuat guru tak kerasan.
Bahkan, kata Oktoriaty yang meraih predikat kepsek terbaik kedua di Malinau 2009 lalu ini, sudah 30-an guru tak tahan mengajar di sini, dan akhirnya minggat, tak mau lagi ditugaskan ke Long Nawang.
“Ketika ditugaskan ke sini, baru dua bulan, sudah ada saja penyakitnya. Ada yang ngakunya sakit keras, atau sakit-sakitan, lalu izin ke Malinau dan tidak kembali lagi. Itu sudah biasa kami lihat. Memang tak mudah jadi guru di sini,” kata Oktoriaty.
Yang lebih parah, untuk menikmati gaji bulanan saja, para guru harus ekstra sabar. Gaji harus mereka ambil sendiri ke Malinau. Sementara untuk ke Malinau dari Long Nawang, biayanya sangat mahal. Sewa kapal ces Rp 300 ribu (harus berlima, bila sendirian Rp 1 juta), lalu tiket pesawat Rp 1,5 juta. Paling tidak harus siap dana Rp 2 jutaan.
Jadi guru di perbatasan, siapa yang mau? Ini pertanyaan yang pasti terlontar. Buktinya sudah 30-an guru tak tahan dan pulang ke Malinau atau Samarinda.
BERITA TERKAIT
- Puluhan Tahun Digaji Seadanya, Guru Honorer di Jawa Barat Menjerit
- Bantu Siswa di Kaldera Toba, PGTS dan GO Buka Program Bimbel Persiapan Masuk PTN 2025
- Mitigasi Inklusif Kolaboratif Organisasi Jadi Model Ideal Hadapi Bencana Nonalam Pandemi
- Santri Disabilitas di Bandung Terima Beasiswa Pendidikan Khusus
- Kuliah Tamu di BINUS University, Dosen FISIP UPNVJ Bicara soal Netnografi
- Siap-siap! Sumbangsih Cup 2025 Segera Digelar, Dijamin Seru dan Meriah