Menyiapkan Kebangkitan Kaum Duafa
Oleh : Mohammad Nuh*
Dari kajian tersebut, sungguh sangat jelas, penyediaan layanan pendidikan setinggi-tingginya (sampai jenjang pendidikan tinggi) bagi mereka dari keluarga miskin merupakan jawaban yang paling tepat untuk persoalan kemiskinan.
Karena itu, saat merumuskan program 100 hari (Oktober 2009–Januari 2010) pemerintahan SBY-Boediono, salah satu program Kementerian Pendidikan Nasional adalah menyiapkan beasiswa bagi anak-anak miskin yang memiliki prestasi berupa pembebasan seluruh biaya kuliah di perguruan tinggi dan bantuan biaya hidup yang selanjutnya dikenal dengan bidikmisi (beasiswa pendidikan untuk anak miskin berprestasi). Setiap anak miskin memiliki misi, yaitu memberantas dan memotong mata rantai kemiskinan. Misi itulah yang akan dibidik penerima bidikmisi.
Pada tahun pertama (2010), alokasi bidikmisi sekitar 10.000 (sepuluh ribu) mahasiswa dan terus meningkat secara bertahap menjadi 70 ribu mahasiswa pada tahun akademis 2014–2015. Secara keseluruhan, saat ini telah mencapai 220 ribu mahasiswa yang tersebar di sebagian besar perguruan tinggi negeri.
Awalnya, peraturan menteri menjadi payung hukum pemberian beasiswa bidikmisi tersebut. Lantas, terus ditingkatkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Akhirnya, dalam kurun dua tahun, kebijakan afirmasi tersebut diperkuat melalui UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, kebijakan afirmasi tersebut bukan saja tanggung jawab kementerian terkait, pemerintah, namun sudah menjadi tanggung jawab negara.
Inilah era harapan dan kesempatan baru bagi anak-anak dari keluarga miskin yang berprestasi untuk bisa menikmati layanan pendidikan tinggi. Semula, terasa tidak mungkin untuk bisa kuliah. Jangankan kuliah, memenuhi kebutuhan keseharian saja sudah susah. Sekarang menjadi mungkin. Bidikmisi jawabannya. Tugas kita memang menjadi pemungkin (enabler), yaitu mengubah dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Kini, lima tahun telah berjalan, penerima bidikmisi telah menunjukkan hasil yang membanggakan: lulus cum laude, juara di berbagai lomba, aktif di berbagai kegiatan, serta kepekaan dan solidaritas sosialnya sungguh sangat mengagumkan. Bahkan, melalui dana abadi pendidikan, telah disiapkan beasiswa S-2 dan S-3 bagi mereka yang berprestasi gemilang.
Banyak di antara mereka yang diterima di perguruan tinggi top dunia. Insya Allah, dalam kurun 5–10 tahun ke depan, lahir ribuan master, doktor, pengusaha, pembebas kemiskinan, dan generasi baru yang berasal dari keluarga miskin. Itulah saat kebangkitan kaum duafa. Alangkah bahagianya saat itu. Kita bisa tersenyum dan tertawa bersama mereka sambil mengibarkan bendera Merah Putih setinggi-tingginya.
Tidakkah Allah akan mengangkat beberapa derajat orang beriman dan berilmu (QS 35: 28) dan tidakkah Nabi SAW pernah berpesan: Carikan untukku kaum duafa kalian, sebab kalian diberi rezeki dan kemenangan lantaran kaum duafa kalian. Semoga bidikmisi terus ditingkatkan sehingga semakin banyak kaum duafa yang bisa tersenyum dan berpengharapan dalam menatap masa depan menuju kejayaan Indonesia 2045. (***)
AWAL Desember 2014, saya berkesempatan berdialog dengan ribuan mahasiswa penerima bidikmisi di ITS dan Universitas Negeri Semarang. Salah satunya
- Brengkes Ikan, Cara Perempuan Menyangga Kebudayaan
- Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur
- Kementerian Baru dan Masa Depan Kebudayaan
- Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia
- Ketahanan Pangan Bermula dari Rumah
- Gerakan Mahasiswa: Instrumen Mewujudkan Indonesia Emas 2045