Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
"Tour de Wae Rebo" dibagi empat "etape". Yang pertama, Denge"Wae Lomba. Etape kedua, Wae Lomba"Posoroko. Berikutnya, jalur Posoroko"Nampe Bakok. Sedangkan, etape pemungkas dari Nampe Bakok ke Wae Rebo.
"Nanti di pos-pos itu bisa beristirahat sebentar. Tarik napas, lemaskan kaki," kata Blasius, lantas tersenyum. Senyum itu masih membangkitkan semangat dan gairah perjalanan.
Tepat pukul 14.12 Waktu Indonesia Timur (WIT), saya memulai perjalanan menempuh "lorong waktu" menuju masa lalu, ke Wae Rebo. Saya didampingi Romanus Monda, warga Wae Rebo yang juga punya rumah di Kombo, kampung di bawah Denge. Roman "sapaan Romanus Monda" bertubuh ramping. Tingginya sekitar 160 sentimeter. Kulitnya sawo matang.
Roman memang guide sekaligus porter berpengalaman. Dia kerap mengantar wisatawan naik-turun Wae Rebo. Tak sekadar mengantar, pria kelahiran Agustus 1975 itu kerap membawakan barang bawaan para turis. "Ada tas-tas besar, ada kaki-kaki kamera (maksudnya tripod, Red)," ujar Roman.
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408