Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
"Selamat jalan. Nanti kalau tidak kuat jangan malu turun lagi!" seru Blasius Monta dari depan rumahnya. Kali ini kalimat itu mulai memunculkan secuil rasa grogi....
***
Etape pertama "Tour de Wae Rebo" diawali dengan perjalanan memintas ladang-ladang penduduk. Kami berjalan di antara tanaman kopi dan kakao. Jalan yang sedikit mendaki itu pendek saja. Tak sampai 15 menit sudah habis.
Selanjutnya adalah trekking meniti semen saluran air. Jalannya juga menanjak. Tapi, tak begitu menyiksa. Tak seberapa lama, jalan membelok ke kiri, melewati pohon enau (aren) yang sudah tumbang. Dan di situlah perjalanan khas etape pertama dimulai.
Jalur menuju Wae Lomba seperti perjalanan menaiki anak tangga alami yang terbuat dari batu-batu besar. Sebagian anak tangga itu tinggi sekali. Lebih tinggi ketimbang dengkul. Jalannya naik dan berkelok-kelok, sesekali melintasi sungai kecil berair dingin.
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408