Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)

Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
CARI KEHANGATAN: Warga Wae Rebo berjemur di sinar matahari pagi di depan Mbaru Tembong (rumah utama Wae Rebo). Foto : Doan W/JAWA POS

"Normalnya", perjalanan ke Wae Lomba, pos pertama, bisa ditempuh sekitar 45 menit. Tapi, bagi saya, jalur itu memang jauh daripada normal. Karena itu, hampir setiap seratusan meter saya minta mandek. Mendinginkan "mesin". Akibatnya, sampai di Wae Lomba, tanah lapang berukuran tak sampai seperempat lapangan basket, perjalanan sudah memakan waktu 1,5 jam.

 

"Tenang saja. Jalanan ke Posoroko lebih enak. Bukan batu. Hanya tanah saja," ungkap Roman, kawan perjalanan saya.

 

Benar juga. Jalan etape kedua lebih mulus. Tak ada lagi batu-batu besar yang harus dilompati. Yang ada cuma tanah yang mendaki, mendaki, dan terus mendaki.

 

Jalur itu memang tak curam-curam amat. Kemiringan yang paling curam hanya 30-an derajat. Namun, jalur naik itu seolah tak pernah habis. Dibatasi tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain, jalur tersebut terasa sangat berat.

Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News