Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
"Kita kembali ke bawah, kah?" kata Roman. Saya menggeleng, tak menjawab untuk menghemat napas.
Perjalanan kami pada Jumat (7/9) itu tak benar-benar sendiri. Kadang kami berpapasan dengan warga Wae Rebo yang sedang naik ke kampung atau turun ke Denge. Langkah mereka tampak ringan dan gesit. Padahal, mereka tak berjalan dengan tangan melenggang. Selalu ada saja bungkusan besar atau tas yang mereka bawa. Ada juga yang sambil menggendong anak atau memikul balok-balok besar.
Ketika berpapasan, warga Wae Rebo itu selalu berhenti untuk menyapa. "Selamat, Bapak," kata mereka sembari mengulurkan tangan. Selalu begitu. "Itu seperti selamat siang atau selamat pagi, begitu," ujar Roman.
Etape yang terasa menyiksa ini akhirnya juga habis dalam satu jam lebih. Posoroko, pos kedua, adalah jalan lebar di puncak tebing. Jalan itu sudah diberi pagar besi. Persis dengan anjungan pandang. Nun di depan tampak Desa Denge di arah selatan. Kalau cuaca sangat cerah, kadang terlihat laut yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Denge.
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408