Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)

Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
CARI KEHANGATAN: Warga Wae Rebo berjemur di sinar matahari pagi di depan Mbaru Tembong (rumah utama Wae Rebo). Foto : Doan W/JAWA POS
 

"Kita kembali ke bawah, kah?" kata Roman. Saya menggeleng, tak menjawab untuk menghemat napas.

 

Perjalanan kami pada Jumat (7/9) itu tak benar-benar sendiri. Kadang kami berpapasan dengan warga Wae Rebo yang sedang naik ke kampung atau turun ke Denge. Langkah mereka tampak ringan dan gesit. Padahal, mereka tak berjalan dengan tangan melenggang. Selalu ada saja bungkusan besar atau tas yang mereka bawa. Ada juga yang sambil menggendong anak atau memikul balok-balok besar.

 

Ketika berpapasan, warga Wae Rebo itu selalu berhenti untuk menyapa. "Selamat, Bapak," kata mereka sembari mengulurkan tangan. Selalu begitu. "Itu seperti selamat siang atau selamat pagi, begitu," ujar Roman.

 

Etape yang terasa menyiksa ini akhirnya juga habis dalam satu jam lebih. Posoroko, pos kedua, adalah jalan lebar di puncak tebing. Jalan itu sudah diberi pagar besi. Persis dengan anjungan pandang. Nun di depan tampak Desa Denge di arah selatan. Kalau cuaca sangat cerah, kadang terlihat laut yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Denge.

Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News