Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)

Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
CARI KEHANGATAN: Warga Wae Rebo berjemur di sinar matahari pagi di depan Mbaru Tembong (rumah utama Wae Rebo). Foto : Doan W/JAWA POS
 

Meski lebih pendek, jalan menuju Nampe Bakok, etape ketiga, tak kalah menyiksa. Jalan juga masih mendaki. Di sini kami diberi "bonus" harus melewati jalan yang nyaris habis digerus longsor. Lebar jalannya tak lebih lebar ketimbang pematang sawah. "Ada longsor besar karena hujan terus bulan tiga kemarin (Maret, Red)," jelas Roman.

 

Tak sampai setengah jam, etape ketiga itu tamat. Nampe Bakok, pos pemberhentian etape tersebut, juga berupa tanah lebar di tekukan jalan. Hari itu kami beruntung, kabut sedang menyingkir. Dengan begitu, terpaparlah pemandangan yang membuat kegembiraan meluap.

Gugusan mbaru niang sudah tampak di kejauhan. Rumah-rumah kerucut itu seolah melambai mengajak kami untuk segera sampai. Maka, tanpa beristirahat, kami pun kembali berjalan.

 

Etape keempat, Nampe Bakok"Wae Rebo, adalah jalur menurun. Kami pun melewatinya setengah berlari. Perjalanan tinggal sebentar lagi."

Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News