Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
Meski lebih pendek, jalan menuju Nampe Bakok, etape ketiga, tak kalah menyiksa. Jalan juga masih mendaki. Di sini kami diberi "bonus" harus melewati jalan yang nyaris habis digerus longsor. Lebar jalannya tak lebih lebar ketimbang pematang sawah. "Ada longsor besar karena hujan terus bulan tiga kemarin (Maret, Red)," jelas Roman.
Tak sampai setengah jam, etape ketiga itu tamat. Nampe Bakok, pos pemberhentian etape tersebut, juga berupa tanah lebar di tekukan jalan. Hari itu kami beruntung, kabut sedang menyingkir. Dengan begitu, terpaparlah pemandangan yang membuat kegembiraan meluap.
Gugusan mbaru niang sudah tampak di kejauhan. Rumah-rumah kerucut itu seolah melambai mengajak kami untuk segera sampai. Maka, tanpa beristirahat, kami pun kembali berjalan.
Etape keempat, Nampe Bakok"Wae Rebo, adalah jalur menurun. Kami pun melewatinya setengah berlari. Perjalanan tinggal sebentar lagi."
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408