Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
***
Pukul 17.58, hampir empat jam sejak start di Denge, kami melangkah memasuki Wae Rebo. Kami melintasi tengah-tengah desa kecil itu menuju mbaru tembong, rumah utama di Wae Rebo. Mbaru tembong adalah rumah paling besar. Tingginya 15 meter dengan diameter kerucutnya juga 15 meter.
Ngando, tiang utama mbaru tembong, menjulang ke atas berhias ukiran kayu mirip tanduk kerbau di puncaknya. Itu salah satu yang membedakan mbaru tembong dengan mbaru gena, rumah-rumah "biasa" (bukan rumah utama), di kanan kirinya.
Para tamu yang memasuki Wae Rebo memang harus masuk dulu ke mbaru tembong. Mereka mendapat sambutan secara adat di rumah utama itu. Untuk upacara penyambutan tersebut, para tamu wajib menyiapkan uang adat, semacam uang permisi kepada para leluhur Wae Rebo.
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408