Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)

Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
CARI KEHANGATAN: Warga Wae Rebo berjemur di sinar matahari pagi di depan Mbaru Tembong (rumah utama Wae Rebo). Foto : Doan W/JAWA POS
Di tengah suasana yang mulai remang-remang, saya masuk ke rumah tersebut. Suasana di dalam gelap. Hanya terlihat siluet orang duduk melingkar. Api dari pelita kecil membuat bayangan terus bergerak halus.

 

Adalah Vitalis Haman, generasi ke-17 Wae Rebo, yang menjadi pendamping saya saat upacara penyambutan itu. Dengan bahasa Manggarai, dia mengutarakan siapa saya, maksud kedatangan ke Wae Rebo, hingga harapan agar saya dilindungi di desa tersebut. "Rantang babang lehe empo Wae Rebo," ungkap Vitalis. Artinya, para leluhur jangan sampai mempertanyakan siapa tamu ini.

 

Saya cukup beruntung, empat tetua adat yang rata-rata dari generasi ke-16 dan ke-17 menyambut langsung. Yang tertua Isidorus Ingkul, 84. Tetua adat yang lain adalah Aleks Ngadus, Rofinus Nompor, dan Biatus Baku.

 

Setelah ungkapan kulonuwun dari Vitalis, Isidorus Ingkul langsung berseru-seru. Beberapa kali nama saya disebut, asal saya, dan Kota Surabaya juga diseru-serukan. Setelah itu, dari dalam keremangan, muncul sesosok orang membawa ayam putih. Ayam tersebut langsung dipangku satu per satu oleh para tetua adat. Upacara selesai.

 

Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News