Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (2)
Disambut Empat Tetua Adat dengan Upacara Pangku Ayam
Senin, 17 September 2012 – 00:17 WIB
Aleks Ngadus, salah seorang sesepuh, menyalami saya. "Anak sudah bukan orang mana-mana. Anak sudah menjadi anak kandung Wae Rebo. Para leluhur juga sudah tahu," ujar Aleks sambil menjabat tangan saya.
Kata dia, setiap anak yang datang memang harus dipangku oleh para orang tua. Tapi, karena saya sudah besar, simbolisasi memangku anak diganti ayam putih.
Beberapa saat setelah upacara, lampu-lampu rumah menyala. Jajaran lampu putih membuat rumah dengan aroma pembakaran itu menjadi benderang. Terlihat sebagian warga duduk melingkar. Di tengah-tengah rumah terlihat dapur kayu bakar yang terus-menerus mengeluarkan asap.
Saya lalu bertanya kepada Vitalis, apakah upacara penerimaan memang harus dilakukan dalam kegelapan dan hanya menggunakan penerangan lampu minyak. "Tidak. Itu tadi gelap karena penjaga generator sedang turun ke kebun. Jangan marah, ya," kata Vitalis.
Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408